Rabu, 23 Februari 2022

SEJARAH BERDIRINYA MUHAMMADIYAH DAN NAHDLATUL ULAMA

SEJARAH BERDIRINYA MUHAMMADIYAH DAN NAHDLATUL ULAMA Sebagai organisasi yang memberikan pengaruh bagi pendidikan dan keagamaan mulai dari pola pikir sampai ritual peribadatan. Maka ada apa dibalik semua itu, benarkah sejarah berjalan mulus tanpa ada benturan pemikiran atau doktrin luar? ataukah sengaja orang dalam membuat pengaruh terkait pemikiran sendiri untuk sebuah pepecahan? Kh Ahmad Dahlan dan Hadratus Syaihk Hasyim Asy'ari. Mereka adalah tokoh besar bangsa ini. Dua ulama yang masing-masing mendirikan organisasi Islam terbesar di Nusantara. KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah. KH Hasyim Asy'ari membentuk Nahdlatul Ulama (NU). KH Ahmad Dahlan sangat karib dengan KH Hasyim As'ari. Dulu, keduanya pernah menimba ilmu dari guru yang sama, yaitu Kiai Haji Saleh Darat. Di pondok pesantren yang terletak di wilayah Semarang inilah, kedua tokoh ini bertemu. Ahmad Dahlan kala itu berusia 16 tahun. Sementara Hasyim berusia 14 tahun. Ahmad Dahlan memanggil Haysim dengan sebutan " Adi Hasyim" . Sementara Hasyi memanggil Ahmad Dahlan dengan sebutan " Mas Darwis" , sebab, nama kecil Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis. Di bawah bimbingan Kiai Saleh, keduanya mencecap ilmu dari kitab-kitab karya ulama besar. Mulai tasawuf, fikih, serta ilmu-ilmu lainnya. Mereka belajar di Semarang selama dua tahun. Selama itu pula keduanya konon tinggal sekamar. Setelah dari Semarang, Ahmad Dahlan dan Hasyim menuntut ilmu ke Mekkah. Keduanya mendapat referensi ulama-ulama besar dari sang guru yang dulunya juga belajar di sana. Diantaranya Syeikh Ahmad Khatib Al Minankabawi. Setelah pulang dari Mekkah, KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy'ari mengamalkan ilmu yang mereka dapat. KH Ahmad Dahlan kemudian mendirikan Muhammadiyah pada 18 November 1912. Sementara Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari mendirikan NU pada 31 Januari 1926. Kini, kedua organisasi itu menjadi wadar besar bagi umat muslim di Nusantara. Dan inilah beberapa bredelan kita yang terangkum dalam tulisan kurang lebih 30 menit. Muhammadiyah Sejarah, Faktor dan Tujuan Didirikan Muhammadiyah Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912 M yang bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330 H di Yogyakarta. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh kalangan muhammadiyah yang menjadi faktor didirikannya organisasi ini oleh KH. Ahmad Dahlan antara lain: a. Ia melihat bahwa umat Islam tidak memegang teguh Alquran dan sunah dalam beramal sehingga tahayul dan syirik merajalela, akhlak masyarakat runtuh. Akibatnya, amalan-amalan mereka merupakan campuran antara yang benar dan yang salah. b. Lembaga-lembaga pendidikan agama yang ada pada waktu itu tidak efisien. Pesantren yang menjadi lembaga pendidikan kalangan bawah pada masa itu dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan masyarakat. Pada waktu itu, pendidikan di Indonesia telah terpecah menjadi dua yaitu pendidikan sekular yang dikembangkan oleh Belanda dan pendidikan pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan agama. Akibatnya, terjadi jurang pemisah yang sangat dalam antara golongan yang mendapat pendidikan sekular dan golongan yang mendapat pendidikan di pesantren. c. Kemiskinan menimpa rakyat Indonesia terutama umat Islam yang sebagian besar adalah petani dan buruh. Orang kaya hanya mementingkan dirinya sendiri dan bahkan banyak ulama lupa mengingatkan umatnya bahwa Islam mewajibkan zakat bagi si kaya, sehingga hak-hak orang miskin menjadi terabaikan. d. Aktivitas misi Katolik dan Protestan sudah giat beroperasi sejak awal abad ke-19 dan bahkan sekolah-sekolah misi mendapat subsidi dari pemerintah Hindia Belanda. e. Kebanyakan umat Islam hidup dalam alam fanatisme sempit, yang bertaklid buta, serta berfikir secara dogmatis. Kehidupan umat Islam masih diwarnai dengan konservatisme, formalisme dan tradisionalisme. Melihat keadaan umat Islam yang demikian, dan didorong oleh pemahamannya yang mendalam terhadap surat Ali Imran ayat 104, KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah sebagai organisasi pembaru dan mengajak umat Islam untuk kembali menjalankan syariat sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Pada mulanya, seperti yang dikutip Umar Hasyim dari Gibb dalam bukunya Modern Tren in Islam, Muhammadiyah sesuai dengan perkembangan yang ada pada masa awal kelahirannya melakukan aktivitas-aktivitas sebagai berikut: a. Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan-kebiasaan non-Islam. Hal ini dilakukan dengan mempergiat dan memperdalam dan memperdalam penyelidikan ilmu agama Islam untuk mendapatkan kemurniannya, memperteguh iman, menggembirakan (memotivasi dan memasyarakatkan) dan memperkuat ibadah, mempertinggi akhlak, mempergiat dan menggembirakan dakwah Islam serta amar ma`ruf nahi mungkar, serta mendirikan dan memelihara tempat ibadah dan wakaf. b. Mengadakan reformulasi doktrin-doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern. c. Mengadakan reformasi ajaran-ajaran dan pendidikan Islam. Pembaharuan Muhammadiyah terlihat dari dua sisi ketika itu yaitu memberikan pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah Belanda dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri yang berbeda dengan sistem pesantren. Di sekolah ini, di samping pendidikan agama, juga diberikan pendidikan umum, tidak dilakukan pemisahan antara murid laki-laki dan perempuan. d. Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan-serangan dari luar. Untuk itu, Muhammadiyah berusaha membentengi para pemuda, wanita, pelajar dan rakyat biasa dengan menimbulkan kesadaran beragama mereka dan berusaha untuk memperbaiki kehidupan dan penghidupan mereka sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Keempat hal yang merupakan tujuan ini, telah menjadi aktivitas Muhammadiyah pada awal berdirinya. Tujuan ini dapat dilihat pada anggaran dasar Muhammadiyah ketika diajukan permohonan pengesahan perserikatan Muhammadiyah pada tanggal 20 Desember 1912 M. Di sana terlihat bahwa maksud dan tujuan Muhammadiyah itu disusun secara sederhana dalam dua kalimat, yaitu (a) memajukan serta menggembirakan pelajaran dan pengajaran agama Islam dalam kalangan sekutu-sekutunya, dan (b) memajukan serta menggembirakan hidup sepanjang kemampuan agama Islam dalam kalangan-kalangan sekutunya. Kedua rangkaian tersebut mengandung arti yang sangat dalam yang dijabarkan dalam berbagai aktivitas Muhammadiyah ketika itu. Sebagai badan hukum, Muhammadiyah baru diakui secara resmi oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 22 Agustus 1914 M, dua tahun setelah KH. Ahmad Dahlan mengajukan permohonannya. Setelah pemerintahan Hindia Belanda digantikan oleh pemerintah Jepang, izin permohonan dari pemerintah Jepang tertuang dalam surat keputusan pemerintahan militer Jepang di Jawa-Madura pada tanggal 10 September 1943, dengan syarat: (a) tidak boleh mengorganisasi kaum wanita sendiri seperti fujinkai, dan tidak boleh mengorganisasi kaum pemuda dan anak-anak seperti seinendan dan syenendam, dan (b) dalam anggaran dasar harus dinyatakan dan ditulis bahwa kemakmuran bersama di Asia Timur Raya berada di bawah pimpinan Dai Nippon, dan hal itu harus dinyakini sebagai yang diperintahkan oleh Tuhan. Nahdhatul Ulama (NU) Sejarah dan Tujuan Didirikan Nahdhatul Ulama (NU) Kelahiran NU tidak lepas dari adanya reaksi terhadap situasi umat Islam pada saat itu. Pada permulaan abad ke-20 umat Islam mengalami kegoncangan akibat kekalahan Turki Usmani pada perang dunia I yang dipandang sebagai kejatuhan dunia Islam. Hal ini terjadi karena kekuasaan sultan Turki sebagai khalifah umat Islam itu telah diakui keberadaannya oleh semua wilayah Islam, termasuk Indonesia. Kegoncangan umat Islam ini diperburuk lagi oleh keputusan Majelis Nasional Agung Turki yang menghapus kekuasaan sultan pada tahun 1922 M dan dihapuskannya jabatan khalifah pada tahun 1924 M di bawah pimpinan penguasa Turki yang baru, Mushtafa Kemal Attaturk. Dalam pada itu pengikut gerakan Wahabi di bawah pimpinan Ibnu Su`ud berhasil menguasai wilayah Hedjaz tempat beradanya kedua kota suci yakni Mekah dan Madinah. Gerakan Wahabi ini bertujuan memurnikan paham tauhid umat Islam, telah memusnahkan semua pandangan yang dipandang menimbulkan bid`ah dan khurafat seperti bangunan-bangunan di atas kuburan, makam orang-orang suci dan kiswah (penutup Ka`bah), di samping menentang taklid kepada pendapat imam-imam madzhab dan menyeru untuk kembali kepada Alquran dan sunah. Hal ini menimbulkan pengaruh yang sangat besar terhadap umat Islam termasuk umat Islam Indonesia, terutama terhadap para ulama yang kuat berpegang teguh pada tradisi dan melestarikan ajaran bermadzhab. Sebagai reaksi terhadap penghapusan khalifah pada tahun 1924 M, Mesir memprakarsai diadakannya suatu kongres dengan mengundang wakil-wakil dari umat Islam sedunia termasuk Indonesia. Menanggapi undangan Mesir itu, umat Islam Indonesia mengadakan kongres al-Islam II di Surabaya pada tanggal 4 Oktober 1924 M. Hasilnya, terbentuk komite khalifah sebagai delegasi yang mewakili Indonesia pada kongres di Mesir. Delegasi terdiri atas Wondoamineso (Sarekat Islam) sebagai ketua dan KH. Abdul Wahab Hasbullah (Ulama Tradisional) sebagai wakil ketua. Tetapi beberpa bulan kemudian kongres al-Islam III yang diadakan di Surabaya tanggal 24-26 Desember 1924 M mengubah susunan delegasi yang telah ditetapkan sebelumnya menjadi tiga orang yaitu Suryopranoto (Sarekat Islam), H. Fahruddin (Muhammadiyah), KH. Abdul Wahab Hasbullah (Ulama Tradisional). Karena alasan keamanan, kongres itu tidak jadi diadakan dan delegasi itupun tidak jadi berangkat. Tidak berapa lama kemudian datang undangan dari Raja Abdul Aziz Ibnu Sa`ud untuk menghadiri kongres di Mekah. Untuk menetapkan susunan delegasi yang akan dikirim, umat Islam Indonesia mengadakan dua kali kongres al-Islam yakni tahun 1925 M dan tahun 1926 M. Kongres memutuskan dua orang sebagai wakil Indonesia yakni H. Oemar Said Tjokroaminoto (Sarekat Islam) dan KH. Mas Mansur (Muhammadiyah). Dalam kongres tersebut (al-Islam), KH. Abdul Wahab Hasbullah atas nama para ulama yang yang teguh memegang pendapat madzhab mengemukakan usul-usul untuk dibawa ke dalam kongres Mekah. Usul-usul yang terpenting di antaranya ialah memohon kepada Raja Abdul Aziz Ibnu Sa`ud agar kebiasaan-kebiasaan agama yang telah menjadi tradisi seperti membangun kuburan, membaca doa, dan ajaran madzhab tetap dihormati. Akan tetapi usul tersebut tidak dapat diterima oleh kongres (al-Islam). Karena usul-usul yang diajukannya ditolak, KH. Abdul Wahab Hasbullah dan beberapa orang pendukungnya menyatakan diri keluar dari kongres dan selanjutnya membentuk suatu komite sendiri yang dinamakan komite Hedjaz. Komite inilah yang merupakan embrio kelahiran NU. Komite Hedjaz mengadakan rapat pertama kali tanggal 31 Januari 1926 M / 16 Rajab 1344 H (kemudian dicatat sebagai hari kelahiran NU), bertempat di kediaman KH. Abdul Wahab Hasbullah desa Kertopaten, Surabaya dihadiri oleh sejumlah ulama dari Jawa Timur dan Jawa Tengah yang kemudian dikenal dengan sebagai pendiri NU. Ada dua keputusan penting yang dihasilkan dalam rapar itu. Pertama, mengirim delegasi ke Mekah untuk bertemu langsung dengan Raja Abdul Aziz Sa`ud, menyampaikan usul-usul seperti yang telah disampaikan KH. Abdul Wahab Hasbullah dalam kongres al-Islam. Delegasi terdiri atas KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Asnawi Kudus yang karena suatu halangan, digantikan oleh Syekh Ahmad Ghunaim. Kedua, membentuk suatu jam`iyah untuk wadah persatuan para ulama dalam tugas memimpin umat menuju tercapainya izzul islam wal muslimin (kejayaan Islam dan umatnya). Atas usul KH. Alwi Abdul Aziz, jam`iyah itu bernama Jam`iyah Nahdah al-Ulama. Organisasi ini kemudian mendapat pengakuan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda sesuai dengan suratnya tanggal 6 Februari 1930 M.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar