Rabu, 23 Februari 2022

SEJARAH BERDIRINYA MUHAMMADIYAH DAN NAHDLATUL ULAMA

SEJARAH BERDIRINYA MUHAMMADIYAH DAN NAHDLATUL ULAMA Sebagai organisasi yang memberikan pengaruh bagi pendidikan dan keagamaan mulai dari pola pikir sampai ritual peribadatan. Maka ada apa dibalik semua itu, benarkah sejarah berjalan mulus tanpa ada benturan pemikiran atau doktrin luar? ataukah sengaja orang dalam membuat pengaruh terkait pemikiran sendiri untuk sebuah pepecahan? Kh Ahmad Dahlan dan Hadratus Syaihk Hasyim Asy'ari. Mereka adalah tokoh besar bangsa ini. Dua ulama yang masing-masing mendirikan organisasi Islam terbesar di Nusantara. KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah. KH Hasyim Asy'ari membentuk Nahdlatul Ulama (NU). KH Ahmad Dahlan sangat karib dengan KH Hasyim As'ari. Dulu, keduanya pernah menimba ilmu dari guru yang sama, yaitu Kiai Haji Saleh Darat. Di pondok pesantren yang terletak di wilayah Semarang inilah, kedua tokoh ini bertemu. Ahmad Dahlan kala itu berusia 16 tahun. Sementara Hasyim berusia 14 tahun. Ahmad Dahlan memanggil Haysim dengan sebutan " Adi Hasyim" . Sementara Hasyi memanggil Ahmad Dahlan dengan sebutan " Mas Darwis" , sebab, nama kecil Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis. Di bawah bimbingan Kiai Saleh, keduanya mencecap ilmu dari kitab-kitab karya ulama besar. Mulai tasawuf, fikih, serta ilmu-ilmu lainnya. Mereka belajar di Semarang selama dua tahun. Selama itu pula keduanya konon tinggal sekamar. Setelah dari Semarang, Ahmad Dahlan dan Hasyim menuntut ilmu ke Mekkah. Keduanya mendapat referensi ulama-ulama besar dari sang guru yang dulunya juga belajar di sana. Diantaranya Syeikh Ahmad Khatib Al Minankabawi. Setelah pulang dari Mekkah, KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy'ari mengamalkan ilmu yang mereka dapat. KH Ahmad Dahlan kemudian mendirikan Muhammadiyah pada 18 November 1912. Sementara Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari mendirikan NU pada 31 Januari 1926. Kini, kedua organisasi itu menjadi wadar besar bagi umat muslim di Nusantara. Dan inilah beberapa bredelan kita yang terangkum dalam tulisan kurang lebih 30 menit. Muhammadiyah Sejarah, Faktor dan Tujuan Didirikan Muhammadiyah Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912 M yang bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330 H di Yogyakarta. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh kalangan muhammadiyah yang menjadi faktor didirikannya organisasi ini oleh KH. Ahmad Dahlan antara lain: a. Ia melihat bahwa umat Islam tidak memegang teguh Alquran dan sunah dalam beramal sehingga tahayul dan syirik merajalela, akhlak masyarakat runtuh. Akibatnya, amalan-amalan mereka merupakan campuran antara yang benar dan yang salah. b. Lembaga-lembaga pendidikan agama yang ada pada waktu itu tidak efisien. Pesantren yang menjadi lembaga pendidikan kalangan bawah pada masa itu dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan masyarakat. Pada waktu itu, pendidikan di Indonesia telah terpecah menjadi dua yaitu pendidikan sekular yang dikembangkan oleh Belanda dan pendidikan pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan agama. Akibatnya, terjadi jurang pemisah yang sangat dalam antara golongan yang mendapat pendidikan sekular dan golongan yang mendapat pendidikan di pesantren. c. Kemiskinan menimpa rakyat Indonesia terutama umat Islam yang sebagian besar adalah petani dan buruh. Orang kaya hanya mementingkan dirinya sendiri dan bahkan banyak ulama lupa mengingatkan umatnya bahwa Islam mewajibkan zakat bagi si kaya, sehingga hak-hak orang miskin menjadi terabaikan. d. Aktivitas misi Katolik dan Protestan sudah giat beroperasi sejak awal abad ke-19 dan bahkan sekolah-sekolah misi mendapat subsidi dari pemerintah Hindia Belanda. e. Kebanyakan umat Islam hidup dalam alam fanatisme sempit, yang bertaklid buta, serta berfikir secara dogmatis. Kehidupan umat Islam masih diwarnai dengan konservatisme, formalisme dan tradisionalisme. Melihat keadaan umat Islam yang demikian, dan didorong oleh pemahamannya yang mendalam terhadap surat Ali Imran ayat 104, KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah sebagai organisasi pembaru dan mengajak umat Islam untuk kembali menjalankan syariat sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Pada mulanya, seperti yang dikutip Umar Hasyim dari Gibb dalam bukunya Modern Tren in Islam, Muhammadiyah sesuai dengan perkembangan yang ada pada masa awal kelahirannya melakukan aktivitas-aktivitas sebagai berikut: a. Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan-kebiasaan non-Islam. Hal ini dilakukan dengan mempergiat dan memperdalam dan memperdalam penyelidikan ilmu agama Islam untuk mendapatkan kemurniannya, memperteguh iman, menggembirakan (memotivasi dan memasyarakatkan) dan memperkuat ibadah, mempertinggi akhlak, mempergiat dan menggembirakan dakwah Islam serta amar ma`ruf nahi mungkar, serta mendirikan dan memelihara tempat ibadah dan wakaf. b. Mengadakan reformulasi doktrin-doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern. c. Mengadakan reformasi ajaran-ajaran dan pendidikan Islam. Pembaharuan Muhammadiyah terlihat dari dua sisi ketika itu yaitu memberikan pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah Belanda dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri yang berbeda dengan sistem pesantren. Di sekolah ini, di samping pendidikan agama, juga diberikan pendidikan umum, tidak dilakukan pemisahan antara murid laki-laki dan perempuan. d. Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan-serangan dari luar. Untuk itu, Muhammadiyah berusaha membentengi para pemuda, wanita, pelajar dan rakyat biasa dengan menimbulkan kesadaran beragama mereka dan berusaha untuk memperbaiki kehidupan dan penghidupan mereka sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Keempat hal yang merupakan tujuan ini, telah menjadi aktivitas Muhammadiyah pada awal berdirinya. Tujuan ini dapat dilihat pada anggaran dasar Muhammadiyah ketika diajukan permohonan pengesahan perserikatan Muhammadiyah pada tanggal 20 Desember 1912 M. Di sana terlihat bahwa maksud dan tujuan Muhammadiyah itu disusun secara sederhana dalam dua kalimat, yaitu (a) memajukan serta menggembirakan pelajaran dan pengajaran agama Islam dalam kalangan sekutu-sekutunya, dan (b) memajukan serta menggembirakan hidup sepanjang kemampuan agama Islam dalam kalangan-kalangan sekutunya. Kedua rangkaian tersebut mengandung arti yang sangat dalam yang dijabarkan dalam berbagai aktivitas Muhammadiyah ketika itu. Sebagai badan hukum, Muhammadiyah baru diakui secara resmi oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 22 Agustus 1914 M, dua tahun setelah KH. Ahmad Dahlan mengajukan permohonannya. Setelah pemerintahan Hindia Belanda digantikan oleh pemerintah Jepang, izin permohonan dari pemerintah Jepang tertuang dalam surat keputusan pemerintahan militer Jepang di Jawa-Madura pada tanggal 10 September 1943, dengan syarat: (a) tidak boleh mengorganisasi kaum wanita sendiri seperti fujinkai, dan tidak boleh mengorganisasi kaum pemuda dan anak-anak seperti seinendan dan syenendam, dan (b) dalam anggaran dasar harus dinyatakan dan ditulis bahwa kemakmuran bersama di Asia Timur Raya berada di bawah pimpinan Dai Nippon, dan hal itu harus dinyakini sebagai yang diperintahkan oleh Tuhan. Nahdhatul Ulama (NU) Sejarah dan Tujuan Didirikan Nahdhatul Ulama (NU) Kelahiran NU tidak lepas dari adanya reaksi terhadap situasi umat Islam pada saat itu. Pada permulaan abad ke-20 umat Islam mengalami kegoncangan akibat kekalahan Turki Usmani pada perang dunia I yang dipandang sebagai kejatuhan dunia Islam. Hal ini terjadi karena kekuasaan sultan Turki sebagai khalifah umat Islam itu telah diakui keberadaannya oleh semua wilayah Islam, termasuk Indonesia. Kegoncangan umat Islam ini diperburuk lagi oleh keputusan Majelis Nasional Agung Turki yang menghapus kekuasaan sultan pada tahun 1922 M dan dihapuskannya jabatan khalifah pada tahun 1924 M di bawah pimpinan penguasa Turki yang baru, Mushtafa Kemal Attaturk. Dalam pada itu pengikut gerakan Wahabi di bawah pimpinan Ibnu Su`ud berhasil menguasai wilayah Hedjaz tempat beradanya kedua kota suci yakni Mekah dan Madinah. Gerakan Wahabi ini bertujuan memurnikan paham tauhid umat Islam, telah memusnahkan semua pandangan yang dipandang menimbulkan bid`ah dan khurafat seperti bangunan-bangunan di atas kuburan, makam orang-orang suci dan kiswah (penutup Ka`bah), di samping menentang taklid kepada pendapat imam-imam madzhab dan menyeru untuk kembali kepada Alquran dan sunah. Hal ini menimbulkan pengaruh yang sangat besar terhadap umat Islam termasuk umat Islam Indonesia, terutama terhadap para ulama yang kuat berpegang teguh pada tradisi dan melestarikan ajaran bermadzhab. Sebagai reaksi terhadap penghapusan khalifah pada tahun 1924 M, Mesir memprakarsai diadakannya suatu kongres dengan mengundang wakil-wakil dari umat Islam sedunia termasuk Indonesia. Menanggapi undangan Mesir itu, umat Islam Indonesia mengadakan kongres al-Islam II di Surabaya pada tanggal 4 Oktober 1924 M. Hasilnya, terbentuk komite khalifah sebagai delegasi yang mewakili Indonesia pada kongres di Mesir. Delegasi terdiri atas Wondoamineso (Sarekat Islam) sebagai ketua dan KH. Abdul Wahab Hasbullah (Ulama Tradisional) sebagai wakil ketua. Tetapi beberpa bulan kemudian kongres al-Islam III yang diadakan di Surabaya tanggal 24-26 Desember 1924 M mengubah susunan delegasi yang telah ditetapkan sebelumnya menjadi tiga orang yaitu Suryopranoto (Sarekat Islam), H. Fahruddin (Muhammadiyah), KH. Abdul Wahab Hasbullah (Ulama Tradisional). Karena alasan keamanan, kongres itu tidak jadi diadakan dan delegasi itupun tidak jadi berangkat. Tidak berapa lama kemudian datang undangan dari Raja Abdul Aziz Ibnu Sa`ud untuk menghadiri kongres di Mekah. Untuk menetapkan susunan delegasi yang akan dikirim, umat Islam Indonesia mengadakan dua kali kongres al-Islam yakni tahun 1925 M dan tahun 1926 M. Kongres memutuskan dua orang sebagai wakil Indonesia yakni H. Oemar Said Tjokroaminoto (Sarekat Islam) dan KH. Mas Mansur (Muhammadiyah). Dalam kongres tersebut (al-Islam), KH. Abdul Wahab Hasbullah atas nama para ulama yang yang teguh memegang pendapat madzhab mengemukakan usul-usul untuk dibawa ke dalam kongres Mekah. Usul-usul yang terpenting di antaranya ialah memohon kepada Raja Abdul Aziz Ibnu Sa`ud agar kebiasaan-kebiasaan agama yang telah menjadi tradisi seperti membangun kuburan, membaca doa, dan ajaran madzhab tetap dihormati. Akan tetapi usul tersebut tidak dapat diterima oleh kongres (al-Islam). Karena usul-usul yang diajukannya ditolak, KH. Abdul Wahab Hasbullah dan beberapa orang pendukungnya menyatakan diri keluar dari kongres dan selanjutnya membentuk suatu komite sendiri yang dinamakan komite Hedjaz. Komite inilah yang merupakan embrio kelahiran NU. Komite Hedjaz mengadakan rapat pertama kali tanggal 31 Januari 1926 M / 16 Rajab 1344 H (kemudian dicatat sebagai hari kelahiran NU), bertempat di kediaman KH. Abdul Wahab Hasbullah desa Kertopaten, Surabaya dihadiri oleh sejumlah ulama dari Jawa Timur dan Jawa Tengah yang kemudian dikenal dengan sebagai pendiri NU. Ada dua keputusan penting yang dihasilkan dalam rapar itu. Pertama, mengirim delegasi ke Mekah untuk bertemu langsung dengan Raja Abdul Aziz Sa`ud, menyampaikan usul-usul seperti yang telah disampaikan KH. Abdul Wahab Hasbullah dalam kongres al-Islam. Delegasi terdiri atas KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Asnawi Kudus yang karena suatu halangan, digantikan oleh Syekh Ahmad Ghunaim. Kedua, membentuk suatu jam`iyah untuk wadah persatuan para ulama dalam tugas memimpin umat menuju tercapainya izzul islam wal muslimin (kejayaan Islam dan umatnya). Atas usul KH. Alwi Abdul Aziz, jam`iyah itu bernama Jam`iyah Nahdah al-Ulama. Organisasi ini kemudian mendapat pengakuan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda sesuai dengan suratnya tanggal 6 Februari 1930 M.

Selasa, 22 Februari 2022

LATAR BELAKANG BERDIRINYA DAULAH UMAYAH, Setelah masa Khulafaur Rasyidin berakhir yang ditutup oleh kepemimpinan Khalifah Ali Bin Abi Thalib dilanjutkan dengan pemerintahan Islam yaitu Dinasti Umayyah. Sejarah berdirinya Dinasti Umayyah dilatar belakangi oleh peristiwa perdamaian Islam dikota Maskin dekat Madam Kuffuah yang dikenal dengan sebutan Ammul Jamaah (Tahun Persatuan). Perdamaian tersebut tarjadi pada tahun 41 Hijriyah/661 Masehi pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Kemudian dari perdamaian Islam tersebut dipegang oleh Hasan bin Ali. Sistem demokrasi yang telah dibangun oleh Khulafaur Rasyidin diganti menjadi sistem pemerintahan monarki (keturunan). Hal ini menjadi perpolitikan yang panjang bagi umat Islam. Mengingat pada saat Khalifah Usman bin Affan wafat digantikan dengan Ali Bin Abi Thalib. Kepemimpinan Ali bin Abi Thalib pun memicu perdebatan antara kaum muslimin itu sendiri. Penolakan beruntut menjadi konflik yang tiada henti sehingga terjadi peperangan antara pendukung Ali bin Abu Thalib dengan Muawiyah bin Abu Sofyan yang merupakan pendukung Khalifah Usman bin Affan. Mengingat Khalifah Ali bin Abu Thalib akan mengusut pembunuhan Usman bin Affan, beliau sangat berhati-hati manangani masalah ini. Karena beliau tidak ingin ada dampak yang buruk terjadi dalam penanganan masalah tersebut. Keluarga Bani Umayyah yang selama ini merasa mempunyai pelindung atas berbagai kepentingan mereka menjadi terguncang mendengar Khalifah Usman bin Affan wafat. Bani Umayyah berupaya mencari pembunuh Khalifah Usman bin Affan untuk menuntut balas. Upaya yang dilakukan adalah menuntut Ali bin Abu Thalib untuk mengusut tuntas pembunuhan itu. Tetapi tidak ada respon maka dari itu Muawiyah bin abu Sofyan dan pendukungnya Bani Umyyah menyusut pembunuhan tersebut. Dengan cara mencari informasi sehingga informasi yang didapat bahwa dalang dibalik pembunuhan tersebut adalah Muhammad bin Abu Bakar. Bani Ummayah dan para pendukungnya menuntut Ali bin Abu Thalib untuk melakukan proses hukum terhadap Muhammad bin Abu Bakar. Namun, Ali bin Abu Thalib tidak mengabulkan permintaan tersebut karena tuduhan tersebut tidak berdasarkan bukti yang kuat. Karena keberadaan Muhammad bin abu Bakar justru untuk melindungi Khalifah Usman bin Affan. Dari hal tersebut, Khalifah Ali bin Abu Thalib mengubah sistem pemerintahan dan merombak pemerintahan serta mengambil langkah pergantian pejabat yang diangkat oleh Usman bin Affan karena dianggap sumber kekacauan. Muawiyah memanfaatkan kekecewaan para mantan pejabat pada masa Usman bin Affan. Sehingga banyak melakukan penolakan sampai-sampai para pendukung Usman bin Affan membawa jubah Khalifah Usman bin Affan yang penuh darah dan menuduh Ali bin Abu Tholib terlibat dalam pembunuhan ini dan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap Khalifah Ali bin Abu Thalib. Selain Muawiyah, kelompok pendukung Ali bin abu Thalib sebagai kaum Syam dan kelompok Zubair bin Awwan tidak menyetujui Khalifah Ali bin Abu Thalib. Mereka menganggap beliau tidak mampu mengatasi dunia politik dalam negeri dan lambannya pengusutan kasus pembunuhan Khalifah Usman bin Affan. Dengan adanya kelompok tersebut akhirnya menimbulkan perselisihan antar sesama muslim. Padahal sebenarnya Abdullah bin Saba’ orang Yahudi yang pura-pura masuk Islam kemudian menyebarkan fitnah. Akhirnya menimbulkan perang, pasukan Ali bin Abu Thalib menyerang kota Basrah dan bertempur di Khutaibah dekat Basrah pada tanggal 10 Jumadil akhir 36 H. Sebenarnya pemimpin menginginkan damai akan tetapi pasukan ingin menyelesaikan peperangan. Dalam peperangan itu Zubair bin Awwan tewas dan Abdullah bin Zubair melarikan diri. Setelah perang itu, pasukan menuju ke Kuffah untuk menyelesaikan permasalahan dengan Muawiyah. Pasukan Khalifah Ali bin Abu Thalib mengutus Jarir bin Abdullah Al Bajali agar Muawiyah menjauh dari kekhalifahan Ali bin Abu Thalib. Ajakan damai tersebut masih ditolak oleh Muawiyah. Karena tidak ada titik temu pasukan Ali bin Abu Thalib terus maju hingga kesuatu tempat bernama Siffin. Disinilah pertempuran berlangsung selama 40 hari pada tahun 657. Perang ini disebut dengan perang Siffin. Sehingga berakhir dengan damai dan membuahkan kesepakatan bahwa:  Usman bin Affan meninggal karena teraniaya dan yang berhak menuntut balas adalah Muawiyah.  Ali bin Abu Thalib dan Muawiyah harus turun dari jabatan masing-masing.  Pengunduran diri mereka disaksikan oleh 100 orang utusan kedua belah pihak. Khalifah Ali bin Abu Thalib wafat pada tanggal 15 Ramadhan 40 H karena terbunuh oleh Abdurahman bin Ibnu Muljam ketika beliau sedang shalat subuh. Pemerintahan khulafaur Rasyidin digantikan oleh Hasan bin Ali yang merupakan anak dari Ali bin Abu Thalib sendiri. Tetapi kepemimpinan Hasan tidak berlangsung lama karena selalu ditekan oleh Muawiyah. Akhirnya dengan jiwa besar Hasan bin Ali menyerahkan tahta kepada pemerintahan Muawiyah dengan tiga syarat yaitu Muawiyah harus menjamin keselamatan seluruh keluarganya, Muawiyah harus menjaga nama baik Khalifah Ali bin Abu Thalib, dan setelah Muawiyah meninggalkan jabatan kepemimpinan harus diserahkan kepada kaum muslimin secara bermusyawarah. Setelah terjadi kesepakatan, Muawiyah datang ke Kuffah untuk bersumpah dan ditetapkan sebagai Khalifah yaitu pada bulan Rabiul Akhir tahun 41 H. Setelah itu Ia kembali ke Damaskus dan menetapkan kota Damskus sebagai pusat pemerintahan kerajaan Daulah Bani Umayyah. Jadi, terbentuknya Dinasti Umayyah dilatar belakangi oleh terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan. Kemudian diangkatnya Ali bin Abu Thalib sebagai Khalifah. Hal ini menyebabkan dampak negatif untuk para Muslimin. Sebagian kaum Muslimin tidak menyetujui kepemimpinan Ali bin Abu Thalib. Terutama Muawiyah yang sangat tidak menyetujui kepemimpinan Ali bin Abu Thalib. Muawiyah memanfaatkan semua mantan pejabat pada masa Usman bin Affan dan masyarakat untuk tidak menyetujui Ali bin Abu Thalib. Muawiyah dan Bani Umayyah yang bersih keras untuk mencari tahu terbunuhnya Usman bin Affan. Akhirnya terjadi peperangan antara kamu Muslim itu sendiri antara Muawiyah dengan Khalifah Ali bin abu Thalib beserta pengikutnya. Perang tersebut berakhir dengan perdamaian bersyarat. Tidak lama kemudian Khalifah Ali bin Abu Thalib wafat karena dibunuh oleh Abdurrahman Ibnu bin Muljam dari golongan Khawarij pada saat sholat subuh. Kepemimpinanpun diganti oleh Hasan anak dari Khalifah sendiri. Namun kepemimpinan tersebut tidak lama, karena selalu ditekan oleh Muawiyah. Akhirnya Hasan memberikan kepemimpinan tersebut ke Muawiyah. Muawiyahpun kembali ke kota Damaskus yang dijadikan tempat pemerintahan kerajaan Daulah Bani Umyyah. Disadur dari beberapa sumber, SaduddinAtazani.Blogspot.Com

Rabu, 09 Februari 2022

Syekh Abdur Rauf Singkili dan Syekh Muhammad Arsyad al Banjari

Syekh Abdur Rauf Singkili dan Syekh Muhammad Arsyad al Banjari A. Syekh Abdur Rauf Singkili 1. Biografi Syekh Abdur Rauf Singkili merupakan seorang ulama, penyair, budayawan, ulama besar, pengarang tafsir, ahli hukum, cendikiawan muslim dan seorang Sufi Melayu dari Fansur, Singkel, di wilayah pantai barat-laut Aceh. Nama lengkapnya Abd Rauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri as-Sinkili. Tak ditemukan keterangan yang pasti tentang tahun kelahirannya. Hanya saja, mengikuti perhitungan mundur Rinkes, sebagaimana disinggung Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama, as-Sinkili lahir sekitar tahun 1024/1615. Oleh sejumlah besar sejarawan, tahun ini disepakati sebagai tahun kelahirannya. Nenek moyang As-Sinkili berasal dari Persia yang datang ke Kesultanan Samudera Pasai pada akhir abad ke-13. Mereka kemudian menetap di Fansur (Barus) sebuah kota pelabuhan tua yang penting di Sumatera Barat. Sayang, latar belakang keluarga as-Sinkili tidak terekam secara jelas. Informasi yang cukup membantu disodorkan Peunoh Daly dalam Naskah Mi’ratut Thullab karya Abdurrauf Singkel adalah bahwa ayah as-Sinkili berasal dari Arab yang menikahi seorang wanita dari Fansur. Hal ini amat mungkin, sebab waktu itu Samudera Pasai dan Fansur kerap dikunjungi pedagang dari Cina, India, Yahudi, Persia, dan Arab. 2. Pendidikan Pendidikan As-Sinkili di masa kecil ditangani oleh ayahnya-seorang alim yang mendirikan madrasah dengan murid-murid berasal dari pelbagai tempat di Kesultanan Aceh. Ia lantas pergi ke Banda Aceh untuk berguru kepada Syam ad-Din as-Samartrani. Pada tahun 1052/1642, as-Sinkili mengembara ke Tanah Haram untuk menambah pengetahuan agama sekaligus menunaikan ibadah haji. Dalam perjalanannya, As-Sinkili singgah di beberapa tempat. Mulai dari Doha, Qatar, ia belajar kepada Abd al-Qadir al-Mawrir. Lalu ke Baitul Faqih, Yaman, berguru kepada ulama dari keluarga Jam’an seperti Ibrahim bin Muhammad bin Jam’an, Ibrahim bin Abdullah bin Jam’an, Qadi Ishaq bin Abdullah bin Jam’an. Setelah dari Baitul Faqih, As-Sinkili ke Jeddah dan berguru kepada Abd al-Qadir al-Barkhali. Kemudian ia ke Mekkah dan belajar kepada Badr ad-Din al-Lahuri dan Abdullah al-Lahuri. Terakhir ke Madinah, berguru kepada Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani. Dalam pengembaraan ini, As-Sinkili memakan waktu kurang lebih selama 19 tahun. Dalam rentang waktu tersebut, ia belajar agama kepada tak kurang dari 19 guru, 27 ulama masyhur, dan 15 tokoh sufi kenamaan. Dari sejumlah gurunya, tampaknya yang paling berpengaruh adalah Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani. Pada sekitar tahun 1584/1661 As-Sinkili kembali ke Aceh. Dalam waktu singkat kharisma As-Sinkili menguat dan mampu memagut simpati Sultanah Safiyyatuddin yang memerintah Kesultanan Aceh ketika itu, tahun 1645-1675). As-Sinkili kemudian diangkat sebagai Qâdi Mâlik al-‘Âdil atau mufti yang betanggung jawab atas masalah-masalah keagamaan. Hingga pada tahun 1693, ia wafat dan dikebumikan di samping makam Teungku Anjong yang dianggap paling keramat di Aceh. 3. Karya tulis As-Sinkili merupakan ulama yang sangat produktif. Tidak kurang dari 30 kitab dari pelbagai disiplin ilmu telah dihasilkan. Karya tulisnya yang diketahui lebih kurang dua puluh buah dalam berbagai bidang ilmu-sastra, hukum, filsafat, dan tafsir, antara lain; a. ‘Umdat al-Muhtajin ila suluki Maslak al-Mufridin; dengan terjemahannya sendiri; Pegangan bagi yang Berkehendak Menjalani Jalan Orang yang Menggunakan Dirinya. Dalam karya ini diterangkannya tentang tasawuf yang dikembangkannya itu. Dzikir dengan mengucap La Illah pada masa-masa tertentu merupakan pokok pangkal tarikat ini. Kitab tersebut terdiri atas tujuh faedah dan bab. Sesudah faedah yang ketujuh diberinya khatimah yang berisi silsilah. Di samping memberi penjelasan tentang ajaran Abdur-Rauf, silsilah ini juga memberikan gambaran di mana dengan cara apa para ulama dan para pengarang besar Melayu lainnya mendapatkan ilmu pengetahuan. Dalam kitab ini pula ia menyebut telah berada selama 19 tahun di negeri Arab. b. Mir’at al-Tullab fi Tashil Ma’rifat al-Ahkam al-Syar’iyah li’l-Malik al-Wahab. Dalam kitab ini disebutkan bahwa ia mengarang atas perintah Sultanah Tajul-Alam Safyaituddin Syah. Isinya tentang ilmu fikih menurut mazhab Syafi’i. Ilmu mu’amalat yang tidak dibicarakan dalam Sirat al-Mustaqim karangan Nuruddin ar-Raniri, ditulis disini. c. Kifayat al-Muhtajin ila Suluk Maslak Kamal al-Talibin. Dalam karya ini disebutkan, bahwa ia diperintahkan oleh Sultanah Tajul-Alam. Isi kitab ini tentang ilmu tasyawuf yang dikembangkan oleh Abdur-Rauf. d. Mau’izat al-Badi’ atau al-Mawa’ith al-Badi’ah. Karya ini terdiri atas 50 pengajaran dan ditulis berdasarkan Al Qur’an dan Hadits, ucapan para sahabat Nabi Muhammad saw serta ulama-ulama besar. e. Tafsif al-Jalalain, Abdur-Rauf juga telah menterjemah sebagian teks dari Tafsir al-Jalalain, surah 1 sampai dengan 10. f. Tarjuman al-Mustafiq, merupakan saduran dalam bahasa Melayu dari karya bahasa Arab. g. Syair Ma’rifat, Syair ini terdapat dalam naskah Oph 78, perpustakaan Leiden, yang disalin pada 28 Januari 1859 di Bukit Tinggi. Dalam bidang tafsir Al-Qur’an, as-Sinkili memang bertekad untuk menulis tafsir terlengkap berbahasa Melayu. Sebelum Tarjumân al-Mustafîd memang telah ada sepenggal tafsir atas Surah al-Kahfi yang ditulis pada masa Hamzah al-Fansuri. Namun sayang, tidak diketahui secara pasti siapa penulisnya. Meski as-Sinkili tidak menorehkan angka tahun untuk penyelesaian Tarjumân al-Mustafîd, namun diyakini tafsir ini ditulis selama masa karirnya yang panjang di Aceh pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18. Tafsir ini tercatat sebagai tafsir paling awal yang ditulis secara lengkap. Karena itulah, sangat wajar jika tafsir ini beredar luas di wilayah Melayu-Indonesia. Bahkan edisi cetaknya juga tersebar di komunitas Melayu di Afrika Selatan. Hal lain yang tidak kalah penting, bahwa edisi cetaknya yang tidak hanya diterbitkan di Penang, Singapura, Jakarta, dan Bombay, tetapi juga di Timur Tengah. Di Istanbul, tafsir ini diterbitkan oleh Mathba’ah al-Utsmaniyyah pada 1302/1884. Kemudian tafsir ini juga diterbitkan di Kairo oleh Sulaiman al-Maragi, dan di Mekkah oleh al-Amiriyyah. Di Jakarta sendiri tafsir ini diterbitkan pada tahun 1981. 4. Peran Abdurrauf Singkel dalam mensyiarkan Islam di Indonesia a. Menjadi pelajar yang gigih b. Menjadi ulama yang produktif dalam pelbagai disiplin ilmu. c. Membuat karya tulis dalam berbagai disiplin ilmu bidang ilmu-sastra, hukum, filsafat, dan tafsir 5. Keteladanan yang dapat diambil dari Abdurrauf Singkel a. Semangat tinggi dalam belajar (beliau menuntut ilmu sampai ke Tanah Haram) b. Ulama yang sangat produktif. Sebagai buktinya 30 kitab telah dihasilkan dari pelbagai disiplin ilmu c. Ahli dalam berbagai disiplin ilmu sebagai buktinya adanya karya tulis lebih kurang dua puluh buah dalam berbagai bidang ilmu-sastra, hukum, filsafat, dan tafsir B. Muhammad Arsyad al-Banjari 1. Biografi Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah bin Abdur Rahman al-Banjari (atau lebih dikenal dengan nama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang lahir di Lok Gabang, Astambul, Banjar, Kalimantan Selatan, 17 Maret 1710 – meninggal 3 Oktober 1812 pada umur 102 tahun) adalah ulama fiqih mazhab Syafi'i yang berasal dari kota Martapura di Tanah Banjar (Kesultanan Banjar), Kalimantan Selatan. Beliau pengarang Kitab Sabilul Muhtadin yang banyak menjadi rujukan bagi para pemeluk agama Islam di Asia Tenggara. 2. Silsilah keturunan Beberapa penulis biografi Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, antara lain Mufti Kerajaan Indragiri Abdurrahman Siddiq, berpendapat bahwa ia merupakan keturunan Alawiyyin melalui jalur Sultan Abdurrasyid Mindanao. Jalur nasabnya ialah Maulana Muhammad Arsyad Al Banjari bin Abdullah bin Abu Bakar bin Sultan Abdurrasyid Mindanao bin Abdullah bin Abu Bakar Al Hindi bin Ahmad Ash Shalaibiyyah bin Husein bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah Al Idrus Al Akbar (datuk seluruh keluarga Al Aidrus) bin Abu Bakar As Sakran bin Abdurrahman As Saqaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali Maula Ad Dark bin Alwi Al Ghoyyur bin Muhammad Al Faqih Muqaddam bin Ali Faqih Nuruddin bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khaliqul Qassam bin Alwi bin Muhammad Maula Shama’ah bin Alawi Abi Sadah bin Ubaidillah bin Imam Ahmad Al Muhajir bin Imam Isa Ar Rumi bin Al Imam Muhammad An Naqib bin Al Imam Ali Uraidhy bin Al Imam Ja’far As Shadiq bin Al Imam Muhammad Al Baqir bin Al Imam Ali Zainal Abidin bin Al Imam Sayyidina Husein bin Al Imam Amirul Mu’minin Ali Karamallah wajhah wa Sayyidah Fatimah Az Zahra binti Rasulullah SAW. 3. Riwayat masa kecil Diriwayatkan, pada waktu Sultan Tahlilullah (1700 - 1734 M) memerintah Kesultanan Banjar, suatu hari ketika berkunjung ke kampung Lok Gabang. Sultan melihat seorang anak berusia sekitar 7 tahun sedang asyik menulis dan menggambar, dan tampaknya cerdas dan berbakat, diceritakan pula bahwa ia telah fasih membaca Al-Quran dengan indahnya. Terkesan akan kejadian itu, maka Sultan meminta pada orang tuanya agar anak tersebut sebaiknya tinggal di istana untuk belajar bersama dengan anak-anak dan cucu Sultan. 4. Pendidikan Muhammad Arsyad al-Banjari lahir pada malam Kamis, pukul 3.00 (waktu sahur), 15 Safar 1122 H/17 Mac 1710 M, wafat pada 6 Syawal 1227 H/3 Oktober 1812 M. Pendidikannya ketika kecil tidak begitu jelas, tetapi pendidikannya dilanjutkan ke Mekkah dan Madinah. Sangat populer bahwa beliau belajar di Mekkah sekitar 30 tahun dan di Madinah sekitar 5 tahun. Sahabatnya yang paling penting yang banyak disebut oleh hampir semua penulis ialah Syeikh `Abdus Shamad al-Falimbani, Syeikh Abdur Rahman al-Mashri al-Batawi dan Syeikh Abdul Wahhab Bugis, yang terakhir ini menjadi menantu beliau. Gurunya pula yang banyak disebut ialah Syeikh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, Syeikh `Athaullah dan Syeikh Muhammad bin Abdul Karim as-Sammani al-Madani. Selama belajar di Mekkah Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari tinggal di sebuah rumah yang dibeli oleh Sultan Banjar. Rumah tersebut terletak di kampung Samiyah yang disebut juga dengan Barhat Banjar. Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dan kawan-kawannya selain belajar kepada ulama-ulama bangsa Arab, juga belajar kepada ulama-ulama yang berasal dari dunia Melayu. Di antara guru mereka yang berasal dari dunia Melayu ialah: Syeikh Abdur Rahman bin Abdul Mubin Pauh Bok al-Fathani, Syeikh Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin Aceh dan Syeikh Muhammad `Aqib bin Hasanuddin al-Falimbani, dan masih banyak lagi. 5. Menikah dan menuntut ilmu di Mekkah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat pendidikan penuh di Istana sehingga usia mencapai 30 tahun. Kemudian ia dikawinkan dengan seorang perempuan bernama Tuan Bajut. Hasil perkawinan tersebut ialah seorang putri yang diberi nama Syarifah. Ketika istrinya mengandung anak yang pertama, terlintaslah di hati Muhammad Arsyad suatu keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu di tanah suci Mekkah. Maka disampaikannya hasrat hatinya itu kepada istri tercinta. Meskipun dengan berat hati mengingat usia pernikahan mereka yang masih muda, akhirnya isterinya mengabulkan niat suci suaminya dan mendukung dalam meraih cita-citanya. Maka, setelah mendapat restu dari sultan berangkatlah Muhammad Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan cita-citanya. Deraian air mata dan untaian doa mengiringi kepergiannya. Di Tanah Suci, Muhammad Arsyad mengaji kepada masyaikh terkemuka pada masa itu, di antara guru beliau adalah: a. Syekh ‘Athoillah bin Ahmad al-Mishry, b. al-Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi 3. c. al-‘Arif Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Hasani al-Madani. Syekh yang disebutkan terakhir merupakan guru Muhammad Arsyad di bidang tasawuf, dimana di bawah bimbingannya Muhammad Arsyad melakukan suluk dan khalwat, sehingga mendapat ijazah darinya dengan kedudukan sebagai khalifah. Setelah lebih kurang 35 tahun menuntut ilmu, timbullah kerinduan akan kampung halaman. Terkenang akan kesabaran dan ketegaran istri yang setia menanti tanpa tahu sampai kapan penantiannya akan berakhir. Pada Bulan Ramadhan 1186 H bertepatan 1772 M, sampailah Muhammad Arsyad di kampung halamannya Martapura, pusat Kerajaan Banjar pada masa itu. Akan tetapi Sultan Tahlilullah yang telah banyak membantunya telah wafat dan digantikan kemudian oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan HW, yaitu cucu Sultan Tahlilullah. Sultan Tahmidullah yang pada saat itu memerintah Kesultanan Banjar, beliau sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya. Sultan Tahmidullah II menyambut kedatangan beliau dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyatpun mengelu-elukannya sebagai seorang ulama "Matahari Agama" yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kerajaan Banjar. Aktifitas beliau sepulangnya dari Tanah Suci dicurahkan untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Baik kepada keluarga, kerabat ataupun masyarakat pada umumnya. Bahkan, sultan pun termasuk salah seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang ‘alim lagi wara’. 6. Pengajaran dan bermasyarakat Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan Selatan. Sekembalinya ke kampung halaman dari Mekkah, hal pertama yang dikerjakannya ialah membuka tempat pengajian (semacam pesantren) bernama Dalam Pagar, yang kemudian lama-kelamaan menjadi sebuah kampung yang ramai tempat menuntut ilmu agama Islam. Ulama-ulama yang dikemudian hari menduduki tempat-tempat penting di seluruh Kerajaan Banjar, banyak yang merupakan didikan dari suraunya di Desa Dalam Pagar. Di samping mendidik, beliau juga menulis beberapa kitab dan risalah untuk keperluan murid-muridnya serta keperluan kerajaan. Salah satu kitabnya yang terkenal adalah Kitab Sabilal Muhtadin yang merupakan kitab Hukum-Fiqh dan menjadi kitab pegangan pada waktu itu, tidak hnaya di seluruh Kerajaan Banjar tetapi sampai ke seluruh Nusantara dan bahkan dipakai pada perguruan-perguruan di luar Nusantara Dan juga dijadikan dasar Negara Brunai Darussalam. 7. Karya-karyanya Kitab karya Syekh Muhammad Arsyad yang paling terkenal ialah Kitab Sabilal Muhtadin, atau selengkapnya adalah Kitab Sabilal Muhtadin lit-tafaqquh fi amriddin, yang artinya "Jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk untuk mendalami urusan-urusan agama". Syekh Muhammad Arsyad telah menulis untuk pengajaran serta pendidikan, beberapa kitab serta risalah lainnya, diantaranya: a. Kitab Ushuluddin yang biasa disebut Kitab Sifat Dua puluh, b. Kitab Tuhfatur Raghibin, yaitu kitab yang membahas soal-soal itikad serta perbuatan yang sesat, c. Kitab Nuqtatul Ajlan, yaitu kitab tentang wanita serta tertib suami-isteri, d. Kitabul Fara-idl, semacam hukum-perdata. Dari beberapa risalahnya dan beberapa pelajaran penting yang langsung diajarkannya, oleh murid-muridnya kemudian dihimpun dan menjadi semacam Kitab Hukum Syarat, yaitu tentang syarat syahadat, sembahyang, bersuci, puasa dan yang berhubungan dengan itu, disebut Kitab Parukunan. Sedangkan mengenai bidang Tasawuf, ia juga menuliskan pikiran-pikirannya dalam Kitab Kanzul-Makrifah. Sudah menjadi tradisi kebanyakan ulama, ketika mereka belajar dan mengajar di Mekkah, mereka juga menulis kitab di Mekkah. Lain halnya dengan Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari, walaupun dipercaya mengajar di Mekkah, namun karya yang dihasilkannya ditulis di Banjar sendiri. Beliau nampaknya lebih mencurahkan khidmat derma baktinya di tempat kelahirannya sendiri yang seolah olah tanggungjawab rakyat Banjar berada dipundaknya. Ketika pulang ke Banjar, beliau sangat sibuk mengajar dan menyusun segala macam bidang yang bersangkut paut dengan dakwah, pendidikan dan pentadbiran Islam. 8. Peran Muhammad Arsyad al-Banjari dalam perkembangan Islam di Indonesia Di antara peran Muhammad Arsyad al-Banjari: a. Sebagai orang yang gigih dalam menuntut ilmu sampai ke Mekkah dan Madinah b. Sebagai pengarang Kitab Sabilal Muhtadin yang banyak menjadi rujukan bagi banyak pemeluk agama Islam di Asia Tenggara. c. Mensyiarkan Islam sampai ke Asia Tenggara. 9. Keteladanan yang dapat diambil dari Muhammad Arsyad al-Banjari Teladan yang dapat diambil dari Muhammad Arsyad al-Banjari antara lain : a. Semangat tinggi dalam menuntut ilmu. b. Rajin dalam menulis buku c. Mensyiarkan Islam sampai ke Asia Tenggara.

Rabu, 02 Februari 2022

Wali Songo dan Perannya dalam dakwah Islam di Pulau jawa, 1. Sunan Gresik Sunan Gresik memiliki nama asli Maulana Malik Ibrahim dan dikenal juga dengan nama Syekh Magribi. Sunan Gresik disebut berasal dari Samarkand, Asia Tengah. Ia menyandang gelar Sunan Gresik karena menyebarkan ajaran Islam di wilayah Gresik, Jawa Timur. Metode dakwah yang digunakan Sunan Gresik adalah dengan mendekatkan diri pada masyarakat dengan mengajarkan cara bercocok tanam, melalui pendidikan dengan mendirikan pesantren, serta membangun surau. Sunan Gresik wafat pada tahun 1419 dan dimakamkan di Kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur. 2. Sunan Ampel Sunan Ampel memiliki nama asli Raden Muhammad Ali Rahmatullah, atau dikenal juga dengan nama Raden Rahmat. Sunan Ampel merupakan anak dari putri raja Campa, yaitu sebuah kerajaan di Vietnam. Ia juga memiliki hubungan darah dengan istri Prabu Brawijaya yang merupakan bibinya. Sunan Ampel juga menjadi pendiri Kerajaan Demak, dengan Raden Patah sebagai rajanya. Sunan Ampel menyebarkan agama islam di Surabaya dan terkenal dengan ajaran "Moh Limo". Ajaran tersebut terdiri dari Moh Main (tidak berjudi), Moh Ngombe (tidak mabuk), Moh Maling (tidak mencuri), Moh Madat (tidak candu pada obat-obatan), dan Moh Madon (tidak berzina). Gelar Sunan Ampel adalah Bapak Para Wali karena memiliki tujuh anak yang di antaranya adalah Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) dan Syarifuddin (Sunan Drajat). Sunan Ampel meninggal pada sekitar tahun 1467 Masehi dan dimakamkan di barat Masjid Ampel Surabaya. 3. Sunan Giri Sunan Giri memiliki nama asli Muhammad Ainul Yaqin. IA juga dikenal dengan nama Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, dan Joko Samudro. Ia merupakan putra mubaligh asal Asia Tengah Maulana Ishaq yang menikah dengan Dewi Sekardadu anak dari Menak Sembuyu. Sebutan Sunan Giri didapatnya dari nama Pesantren Giri yang didirikan di perbukitan Sidomukti, Kebomas, Gresik. Pesantren ini tersohor hingga Madura, Kalimantan, Sumba, Flores, Ternate, Maluku, dan Sulawesi. Dalam perjalanannya, pesantren ini berkembang menjadi Kerajaan Giri Kedaton. Sunan giri juga dikenal dengan cara dakwah melalui seni dengan tembang Macapat, seperti Pucung dan Asmarandana. Sunan Giri wafat pada tahun 1506 M, dan dimakamkan di Dusun Giri Gajah Desa Giri Kecamatan Kebomas, Gresik. 4. Sunan Bonang Sunan Bonang memiliki nama asli Maulana Makdum Ibrahim yang merupakan putra dari Sunan Ampel. Sunan Bonang menyebarkan ajaran agama Islam melalui kesenian dengan melakukan akulturasi budaya mulai dari Tuban, Rembang, Pulau Bawean, hingga Madura. Peninggalan Sunan Bonang antara lain gamelan Jawa yang merupakan hasil modifikasi peninggalan budaya Hindu dengan menambah rebab dan bonang. Sunan Bonang menggunakan gamelan memainkan lagu bernuansa Islam, yang salah satunya berjudul Tombo Ati. Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M, namun makamnya ada di dua tempat. Yang pertama terletak di sebelah barat Masjid Agung Tuban dan yang kedua bu Pulau Bawean. 5. Sunan Drajat Sunan Drajat merupakan anak dari Sunan Ampel sekaligus adik dari Sunan Bonang yang memiliki nama Raden Syarifudin atau Raden Qasim. Ia mendapat gelar dari Raden Patah dari Kerajaan Demak sebagai Sunan Mayang Madu. Ia berdakwah dari daerah pesisir Gresik hingga berakhir di Lamongan. Cara berdakwahnya termasuk dengan memanfaatkan media seni dengan suluk dan tembang pangkur. Selain itu ada pula ajaran Catur Piwulang yang isinya ajakan untuk berbuat baik kepada sesama. Sampai saat ini ajaran tersebut masih digunakan turun-temurun sebagai pedoman hidup. Sunan Drajat wafat pada tahun 1522 M dan makamnya berada di desa Drajat, Paciran, Lamongan, Jawa Timur. 6. Sunan Kalijaga Sunan Kalijaga yang memiliki nama asli Raden Said adalah putra dari Tumenggung Wilatikta Bupati Tuban. Ia menjadi seorang wali setelah bertemu dengan Sunan Bonang yang menjadi guru spiritualnya. Sunan Kalijaga memulai berdakwah di Cirebon, dan kemudian meluas hingga Pamanukan hingga Indramayu. Sunan Kalijaga juga dikenal dengan cara dakwahnya yang menggunakan kearifan lokal termasuk kesenian melalui media wayang. Sunan Kalijaga wafat pada 1513 M dalam usia 131 tahun dan dimakamkan di Desa Kadilangu, Demak, Jawa Tengah. 7. Sunan Muria Sunan Muria yang memiliki nama asli Raden Umar Said juga dikenal sebagai Raden Parwoto. Ia turut berperan dalam berdirinya Kerajaan Demak bersama Raden Patah. Nama Sunan Muria diambil dari tempat ia tinggal di lereng Gunung Muria, sebelah utara Kudus. Wilayah yang ia kunjungi untuk berdakwah mencakup Jepara, Tayu, Juana, hingga sekitar Kudus dan Pati. Ia berdakwah dengan mengajarkan cara berdagang, bercocok tanam, dan melaut, serta melalui kesenian gamelan. Dalam hal kesenian, Sunan Muria menciptakan Tembang Macapat, yakni Sinom dan Kinanti. Sunan muria wafat pada tahun 1551 M dan lokasi makamnya berada di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus. 8. Sunan Kudus Sunan Kudus memiliki nama asli Jaffar Shadiq atau Sayyid Ja'far Shadiq Asmatkhan, dan dikenal dengan panggilan Raden Undung. Sunan Kudus pernah berperan di Kerajaan Demak sebagai panglima perang, hakim, dan penasihat bagi Arya Penangsang. Keunikan dakwah Sunan Kudus adalah dengan menggunakan sapi yang disebut Kebo Gumarang. Sapi India itu ia letakkan di pekarangan rumah sehingga masyarakat yang mayoritas beragama Hindu tertarik mendatanginya. Dengan cara toleransi dengan melarang untuk menyembelih sapi dan menggantinya dengan kerbau, Sunan Kudus berhasil membuat masyarakat mau mengikuti ajaran Islam. Selain itu dalam hal seni, Sunan Kudus berdakwah dengan menciptakan Tembang Macapat, yakni Gending, Maskumambang dan Mijil. Sunan Kudus wafat sekitar tahun 1550 Masehi dan dimakamkan di lingkungan Menara Kudus. 9.Sunan Gunung Jati Sunan Gunung Jati memiliki nama asli Syarif hidayatullah merupakan pendiri Kesultanan Cirebon dan Banten. Ia juga menjadi satu-satunya wali yang menjabat sebagai kepala pemerintahan. Ia berasal dari Pasai, Aceh yang kemudian singgah di Jawa Barat sepulangnya dari Mekkah. Sunan gunung Jati melakukan pendekatan budaya untuk menyebarkan agama Islam di Jawa Barat. Ia juga mendekati masyarakat dengan membangun berbagai infrastruktur di wilayah kepemimpinannya. Sunan Gunung Jati wafat pada tahun 1968 M dan dimakamkan di puncak Bukit Sembung yang berlokasi di pinggirian kota Cirebon. Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengenal Wali Songo, Nama Lengkap, dan Wilayah Penyebaran Agama Islam di Jawa", Disadur oleh Sa’duddin Attaftazani

Selasa, 01 Februari 2022

(Khulafaur Rasyidin dan Prestasi-prestasinya) Setelah Rasulullah (Nabi Muhammad SAW). meninggal dunia, umat Islam dipimpin oleh Khulafaur Rasyidin. kekhalifahan ini berdiri setelah Nabi Muhammad SAW. wafat yaitu pada tahun 632 M atau tahun 11 H . Ada 4 Khulafaur Rasyidin pada masa itu antara lain sebagai berikut adalah : 1. Abu Bakar As-Siddiq, 2. Umar bin Khattab, 3. Utsman bin Affan, 4. Ali bin Abi Thalib. Khulafaur Rasyidin terdiri dari kata khulafa dan Ar Rasyidin, khulafa merupakan bentuk jamak dari kata khalifah artinya "pemimpin" dan Ar Rasyidin berasal dari kata Roosyidun yang berarti orang-orang yang mengikuti jalan lurus/di beri petunjuk/orang yang benar. Para Khulafaur Rasyidin memimpin dengan adil, bijaksana, dan demokratis. Mereka mendahulukan kepentingan agama, bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi dan keluarga. Segala bentuk keputusan yang diambil pada masa Khulafaur Rasyidin diambil berdasarkan keputusan bersama, apabila ada suatu masalah mereka selalu mendiskusikannya. Para Khulafaur Rasyidin hidup sederhana, tidak ada istana megah, pengawal, ataupun makanan mewah. Tantangan yang dihadapi para Khulafaur Rasyidin pun tak kalah berat dengan apa yang diterima Rasulullah saw. Sepeninggal Rasulullah saw. banyak masyarakat yang enggan menjalankan perintah agama, bahkan ada yang kembali pada ajaran nenek moyang mereka, yaitu menyembah berhala. Mereka beranggapan bahwa ajaran yang dibawa Rasulullah hanya berlaku ketika Rasulullah saw. masih hidup saja. Para Khulafaur Rasyidin telah banyak berjasa dalam menyebarkan ajaran Islam dan memajukannya. Selama mereka memimpin, banyak sekali prestasi-prestasi yang telah mereka raih. Di antara prestasi itu adalah memerangi kaum murtad yang terjadi pada masa khalifah Abu Bakar As-Siddiq, membangun kota Basrah pada masa khalifah Umar bin Khattab, membangun armada laut pada masa khalifah Utsman bin Affan, dan menyempurnakan tulisan Al-Qur'an pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Untuk lebih memahami materi tentang sejarah perkembangan Islam pada masa Khulafa'urrasyidin simaklah pembahasan materi berikut. A. Gaya Kepemimpinan Khulafaur Rasyidin Setelah Rasulullah saw. wafat maka kepemimpinan umat Islam dipercayakan kepada Khulafaur Rasyidin. Khulafaur Rasyidin berarti pemimpin-pemimpin yang mendapat petunjuk dari Allah swt. Mereka adalah Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin merupakan masa yang penting dalam perjalanan sejarah Islam. Mereka telah menyelamatkan Islam, memperkuat, dan meletakkan dasar-dasar kehidupan bagi keagungan agama Islam dan umatnya. Khulafa'urrasyidin bertindak sebagai pemimpin yang demokratis, karismatik, adil, arif, dan bijaksana. Segala keputusan dan tindakan khalifah saat itu berdasarkan hasil musyawarah. Banyak sekali jasa, kebaikan, dan prestasi yang diraih selama mereka menjabat sebagai khalifah. B. Prestasi-prestasi yang Dicapai oleh Khulafaur Rasyidin 1. Khalifah Abu Bakar As-Siddiq (11-13 H/632-634 M) Setelah Rasulullah wafat, kaum muslimin sempat mengalami guncangan dan permasalahan. Mereka merasa bingung kepada siapa mereka akan bertanya apabila ada pertanyaan ataupun permasalahan yang tidak bisa diselesaikan. Abu Bakar As-Siddiq r.a. menemui mereka dan menyampaikan pidatonya: "Wahai sekalian manusia, barang siapa yang menyembah Muhammad maka sesungguhnya ia telah wafat. Tetapi, barang siapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Dia Maha hidup dan tidak akan mati". Sadar akan keadaan dan situasi yang dihadapi, mereka pun berpikir bahwa mereka tidak mungkin hidup tanpa seorang pemimpin. Mereka pun akhirnya melakukan musyawarah untuk mengangkat khalifah. Setelah melakukan musyawarah akhirnya diputuskan, bahwa yang menggantikan Rasulullah saw. sebagai pemimpin umat Islam adalah Abu Bakar As-Siddiq. Baiat secara umum terhadap kekhalifahan Abu Bakar As-Siddiq dilaksanakan di masjid Nabi dipimpin oleh Umar bin Khattab r.a. a. Prestasi-prestasi khalifah Abu Bakar As-Siddiq 1) Menyebarkan Agama Islam ke Syam Pada masa kepemimpinannya, Abu Bakar melanjutkan rencana Rasulullah saw. yang ingin mengirimkan pasukan ke Syam. Abu Bakar mengirimkan pasukan Usamah bin Zaid ke Syam untuk menyongsong Pasukan Romawi. Sekelompok kaum Anshar menghendaki agar Abu Bakar menangguhkan pemberangkatan pasukan, karena kaum Anshar beralasan Madinah tengah terancam orang-orang murtad, tetapi Abu Bakar tetap mengirimkan pasukan Usamah sebagaimana yang telah diamanatkan Rasulullah. 2) Memberantas Kaum Murtad Setelah wafatnya Rasulullah saw. banyak orang yang keluar dari agama Islam (murtad). Iman mereka menjadi lemah sepeninggal Rasulullah saw., bahkan yang lebih parah lagi mereka kembali menyembah berhala dan melakukan perbuatan. perbuatan jahilyyah yang dulu mereka tinggalkan. Bentuk kemurtadan yang mereka lakukan adalah dengan menolak membayar zakat. Mereka menganggap membayar zakat itu hanya untuk Rasulullah saw. Setelah beliau wafat, maka tidak ada keharusan membayar zakat lagi. Selain menolak membayar zakat, gerakan kemurtadan juga ditandai dengan munculnya nabi palsu, seperti Musailamah Al-Kadzab. Untuk memberantas kemurtadan, Abu Bakar menyiapkan pasukan yang dipimpin oleh panglima Khalid bin Walid. Pertempuran terbesar dalam memerangi kaum murtad ini yaitu pertempuran Yamamah yang menewaskan banyak sahabat dan juga para penghafal Al-Quran. Dengan pertolongan Allah, dalam waktu satu tahun gerakan kemurtadan dapat dimusnahkan. 3) Menguasai Persia Penguasaan terhadap Persia dilakukan untuk menyebarkan Islam dan membebaskan manusia dari penyembahan mereka terhadap berhala-berhala, serta menyelamatkan manusia dari pemerintahan yang sewenang-wenang. Penguasa Persia memperlakukan rakyat dengan kejam, penuh pemaksaan, dan jauh dari rasa kasih sayang. Di samping itu, tentara Persia juga berdiri di belakang kaum murtad yang melakukan perlawanan terhadap pemerintahan khalifah Abu Bakar As-Siddiq. Penguasaan terhadap Persia dimulai dengan pertempuran Dzatu As-Salasil yang berakhir dengan pasukan muslim menguasai pelabuhan penting Persia yang membentang di Teluk Arab (Teluk Persia). Masih dalam tahun yang sama, 12 H terjadi pertempuran Al-Madzar yang menewaskan kurang lebih 8.000 tentara Persia juga pertempuran Ales yang menewaskan 70.000 tentara Persia. Seluruh pertempuran melawan Persia tersebut dipimpin oleh panglima tentara Islam, Khalid bin Walid. Penguasaan dan kemenangan tentara Islam atas Persia ditandai dengan jatuhnya kota Al-Hirrah tahun 12 H. Al-Hirrah merupakan kota terpenting bagi Persia. Pada Rabiul Awwal para penduduknya menemui Khalid bin Walid untuk menyatakan ketundukan dan membayar jizyah. Pemerintah Islam memperlakukan mereka dengan lemah lembut dan kasih sayang. Melihat perilaku dan sikap yang ditunjukkan pemerintah Islam mereka pun berbondong-bondong masuk Islam. 4) Kodifikasi (Pengumpulan dan Penulisan) Al-Qur'an Dalam pemberantasan kaum murtad dan serangkaian perluasan wilayah telah menyebabkan banyak bergugurannya orang muslim, terutama para penghafal Al-Qur'an. Alasan itulah yang mendorong Abu Bakar r.a. segera bermusyawarah dengan Zaid bin Tsabit, untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an yang sesuai dengan bacaan Nabi. Dalam pengerjaannya, Zaid dibantu oleh beberapa orang pilihannya. Al-Qur'an ditulis dalam beberapa mushaf khusus yang disimpan oleh Abu Bakar As-Siddiq r.a. sampai beliau wafat, lalu berada di tangan Umar dan beralih ke tangan putrinya, Hafsah. Pengumpulan dan penulisan Al-Qur'an ini merupakan salah satu karya mulia yang dilakukan oleh khalifah Abu Bakar r.a. yang memberikan manfaat besar bagi agama dan umat Islam. 2. Khalifah Umar Bin Khattab (13-23 H/634-644 M) a. Umar bin Khattab menjadi khalifah Ketika Abu Bakar sakit, beliau bermusyawarah dengan beberapa tokoh kaum muslimin tentang kepemimpinan umat Islam setelahnya. Tidak ada satu orang pun di antara para tokoh waktu itu yang sanggup menerima amanah kepemimpinan setelah Abu Bakar As-Siddiq. Mereka mengembalikan permasalahan itu kepada beliau. Akhirnya Abu Bakar mengusulkan Umar bin Khattab untuk menggantikannya. Abu Bakar memandang bahwa tidak ada orang yang lebih layak menggantikannya kecuali Umar bin Khattab. Setelah Abu Bakar wafat pada Jumadil Akhir tahun 13 H, kaum muslimin membaiat Umar bin Khattab menjadi khalifah. b. Prestasi-prestasi khalifah Umar bin Khattab 1) Membentuk pemerintahan yang adil, berwibawa, dan disegani Umar bin Khattab dikenal sebagai pemimpin yang tegas. Karena ketegasan sikapnya dalam membedakan yang hak dan yang batil, Umar diberi gelar "Al-Faruq”. Pemerintahan Islam di zamannya semakin kuat, berjaya, adil, dan berwibawa. Tempat-tempat peribadatan dan berhala-berhala kaum kafir di Persia, Syam, Transoksiana, dan Irak dihancurkan. Semua penguasa yang zalim dan sewenang-wenang menjadi gentar. Dengan keluhuran akhlak, siasat politik, dan militer yang cerdas membuat musuh menjadi luluh. Mereka ingin segera menggantikan pemerintahan yang zalim, diktator, penyembahan terhadap raja-raja, dan berhala, dengan pemerintahan Islam yang adil dan bijaksana sebagaimana yang dilakukan oleh khalifah Umar bin Khattab. 2) Memperluas kekuasaan Islam ke Afrika serta runtuhnya kerajaan persia dan Romawi. Dalam rangka ingin menuntaskan sisa kekuatan Persia yang telah dikalahkan Islam pada masa Abu Bakar, Umar meneruskan perjuangannya dalam pertempuran Al-Jisr (13 H/634 M) dan pertempuran Al-Buwayb (13 H/634 M). Setelah memperoleh kemenangan, Abu Ubaidah Al-Jarrah, pengganti Khalid bin Walid, dengan bala tentaranya mengepung kota Damaskus. Damaskus dapat dikuasai tanpa perlawanan tahun 14 H, demikian juga pada tahun yang sama tentara Islam menguasai Wadisiyah dan Mada'in yang menjadi ibu kota Persia. Dengan jatuhnya Mada'in ke tangan kaum muslimin, sejarah menutup lembaran hitam umat manusia di bawah penguasa yang zalim. Setelah menguasai Persia, pasukan Islam beralih ke Byzantium. Penguasaan pasukan Islam terhadap Romawi (Byzantium) ditandai dengan kekalahan mereka di pertempuran 'Ayn Asy-Syams'. Pasukan Romawi berlindung di benteng Babilonia Mesir yang kemudian dikepung oleh pasukan Islam yang dipimpin oleh Amr bin Ash. Pasukan Romawi yang berlindung di dalam benteng tersebut akhirnya menyerah dan meminta berdamai. Namun Romawi masih punya kota Iskandariyah (Alexandria) yang merupakan ibu kota mereka di Mesir. Amr bin Ash berpikir bahwa Mesir tidak akan aman dari Romawi selama mereka masih menguasai Iskandariyah. Oleh sebab itu pasukan Islam melanjutkan pengepungan ke Iskandariyah. Heraclius, kaisar Romawi meninggal, pengepungan Iskandariyah pun tidak berlangsung lama. Romawi meminta berdamai dan bersedia meninggalkan sebagian besar wilayah Mesir secara permanen. Setelah berhasil membebaskan Mesir dari kekuasaan Romawi (Byzantium), Amr bin Ash dan tentaranya melanjutkan perjalanan ke barat. Mereka menguasai Barqah di Libya tahun 21 H/643 M. Kemudian Tripoli (Ibu kota Libya sekarang) pada tahu" 22 H/643 M. Perluasan ini menjadi perluasan terakhir di masa khalifah Umar bir Khattab. Masuknya Islam di Barqah dan Tripoli merupakan langkah yang sangat penting, karena dengan kejadian ini pemerintah Islam dapat mengawasi keadaan di Afrika Utara. 3) Membangun Kota Basrah (16 H/636 M) Pada tahun 16 H/636 M kota Basrah dibangun setelah tentara Islam pimpinan Sa'ad bin Abi Waqash menguasai Irak. Pemilihan tempat tersebut dilakukan sendiri oleh khalifah Umar, yaitu sebuah tempat dekat dengan kota pelabuhan Ubullah di Teluk Persia. Selama pemerintahan khalifah Umar, kota Basrah dijadikan markas tentara Islam. Untuk mengajarkan Islam kepada penduduk Basrah, khalifah Umar mengirim ulama-ulama dar Madinah ke kota itu, diantaranya Hasan Al-Basri. Sejak itu Basrah menjadi salah satu pusat pendidikan di dunia Islam. Untuk memenuhi kebutuhan air bagi masyarakat Basrah, khalifah Umar bin Khattab memerintahkan untuk membuat saluran air dari sungai Tigris ke kota itu. 4) Membangun Kota Fusthath sebagai Ibu Kota Mesir (21 H/642 M) Setelah menguasai Mesir, Amr bin Ash merasa penting untuk membangun Ibu kota Islam di Mesir. Dengan persetujuan khalifah, maka dipilihlah sebuah tempat yang strategis di sebelah timur sungai Nil yang bernama Fusthath. Kota Fusthath, sekarang berlokasi di Mesir kuno dekat Majra Al-Uyun. Kota ini terus menerus dikembangkan selama masa kekuasaan Islam sampai akhirnya dibakar oleh tentara salib ketika mereka menghancurkan Mesir. 5) Membangun Masjid Amr bin Ash Masjid Amr bin Ash adalah masjid yang pertama dibangun di Mesir dan Afrika tahun 21 H/642 M. Letaknya, di tengah-tengah perumahan kaum muslimin. Masjid ini digunakan oleh khalifah Umar bin Khattab untuk beribadah dan berkumpul membahas agama dan kepentingan umum. 6) Menetapkan Kalender Islam Hijrah Nabi Muhammad saw. telah membawa dampak besar terhadap perkembangan Islam. Ali bin Abi Thalib mengusulkan kepada khalifah Umar bin Khattab untuk menjadikan peristiwa hijrah Nabi dari Mekkah ke Madinah dijadikan titik awal kalender Islam yang telah disepakati dalam musyawarah para tokoh. Pada bulan H, akhirnya khalifah Umar bin Khattab menyetujui usulan Ali bin Rabiul Awwal 16 Abi Thalib dan menetapkan penanggalan Hijriyyah/kalender Islam. Dan ini adalah salah satu prestasi besar yang diraih oleh khalifah Umar bin Khattab. c. Wafatnya Umar bin Khattab (23 H/644 M) Khalifah Umar meninggal akibat sebuah persekongkolan yang dirancang musuh-musuh Islam dari kalangan Yahudi dan Persia yang membencinya. Umar meninggal karena dibunuh ketika melakukan shalat subuh. Umar dibunuh oleh Abu Lu'lu, seorang mantan budak Persia. Umar ditusuk dengan belati beracun. 3. Khalifah Utsman Bin Affan (23-35 H/644-656 M) a. Utsman bin Affan menjadi khalifah Utsman bin Affan adalah khalifah ketiga setelah khalifah Umar bin Khattab. Utsman merupakan saudagar kaya raya yang dermawan. Utsman banyak menyumbangkan hartanya di jalan Allah, untuk membantu perjuangan Islam. Utsman termasuk ke dalam golongan As-Sabigunal awwalun yaitu golongan orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Sebelum wafat. khalifah Umar bin Khattab memerintahkan dibentuknya majelis syura yang beranggotakan enam orang. Mereka adalah Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Sa'ad bin Abi Waqash, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah. Tugas tim ini adalah menentukan orang yang layak menjadi khalifah jika Umar telah meninggal. Setelah Umar wafat, terjadilah perdebatan yang cukup lama dan akhirnya penentuan khalifah dilakukan melalui pemungutan suara terbanyak. Saat itu suara kaum muslimin terbagi dua, yakni untuk Ali dan Utsman. Ali bin Abi Thalib sendiri beserta Sa'ad, dan Zubair memilih Utsman, akhirnya yang lain pun mengikuti mereka. Utsman bin Affan pun, menjadi khalifah pengganti Umar bin Khattab, peristiwa tersebut terjadi pada tahun 23 H/644 M. b. Prestasi-prestasi khalifah Utsman bin Affan 1) Menuntaskan Penguasaan di Syam Muawiyah bin Abi Sufyan yang diangkat menjadi gubernur Syam oleh khalifah Utsman bin Affan menerima informasi bahwa pasukan Romawi kembali menyerang dan telah menduduki Syam bagian utara. Muawiyah meminta bantuan pasukan kepada khalifah Utsman bin Affan, maka dikirimlah 80.000 pasukan di bawah komando Salman bin Rabiah. Akhirnya pasukan muslim dapat menghadang dar mengalahkan pasukan Romawi hingga ke daerah Tabaristan. 2) Membangun Armada Laut Jatuhnya Iskandariyah dan penghancuran Mesir oleh Byzantium (Romawi) tahun 25 H menyadarkan kaum muslimin akan kelemahan kekuatan tentara Islam jika diserang dari laut. Hal tersebut mendorong Muawiyah untuk membangun armada laut yang kuat. Dengan persetujuan khalifah Utsman, maka dibuatlah kapal-kapal perang untuk armada laut Islam. Sejak itulah pasukan muslim memiliki armada laut yang cukup kuat. 3) Mempertahankan dan Memperluas daerah Islam Pada masa khalifah Umar bin Khattab, kekuasaan Romawi dan Persia di seluruh Mesir dan Syam dapat dikalahkan oleh tentara Islam. Bahkan tentara Islam sudah menguasai Tripoli dan Bargah. Setelah Umar bin Khattab wafat,-sisa-sisa kekuasaan Romawi dan Persia mencoba mengambil kembali daerah-daerah yang telah dikuasai oleh pemerintah Islam. Namun khalifah Utsman bin Affan dapat mempertahankan dan memukul mundur seluruh kekuatan musuh dari daerah yang telah dikuasai oleh kekuatan Islam. Dengan kekuatan tentara waktu itu, tentara muslim mampu memperluas daerah kekuasaan. Daerah kekuasaan Islam meluas hingga meliputi Armenia Turkistan, Kabul, dan Nubah (Sudan). 4) Menyempurnakan Kodifikasi Al-Qur'an dan Menyatukan Perbedaan dalam Pelafalan bacaan Al-Qur'an Mushaf yang telah dikodifikasi di tangan Abu Bakar ada di tengan Umar bin Khattab lalu berpindah kepada Hafsah, Umar kemudian diminta oleh khalifah Utsman bin Affan. Beliau membentuk tim yang terdiri dari Zaid bin Tsabit sebagai ketua, Abdullah bin Zubair, Sa'ad bin Ash, dan Abdurrahman bin Haris. Tim tersebut diberi tugas untuk menyalin naskah yang asli dengan dialek Quraisy dan menyeragamkan susunan surah-surah. Setelah selesai, naskah yang asli dikembalikan kepada Hafsah dan salinannya dikirim ke beberapa wilayah yang telah dikuasai. Untuk naskah-naskah yang sebelumnya terdapat perbedaan dalam cara membacanya, khalifah Utsman memerintahkan agar dibakar. sehingga pelafalan bacaan Al-Qur'an menjadi seragam. Karya besarnya yang sangat bermanfaat bagi umat Islam ini, dinamakan “Mushaf Utsmani”. C. Wafatnya Utsman bin Affan (35 H/656 M) Ketika menjabat sebagai khalifah. Utsman banyak mengganti gubernur wilayah yang tidak cocok dan kurang cakap, dan menggantikannya dengan orang-orang yang lebih kredibel dari kalangan kerabatnya. Namun beberapa pejabat yang diberikan kepercayaan tersebut tidak menjalankan tugas dengan baik sesuai syariat agama dan perintah khalifah. Sebagai contoh ketika Utsman meminta laporan keuangan daerah kepada Arr bun Al-Ash, selaku gubernur Mesir. Laporan tersebut dindai timpang dan gubernur dianggap gagal melakukan tugasnya. Karena kegagalannya ia diganti oleh Abdullah bin Sa'ad bin Abu As-Sarah. Kegagalan beberapa pejabat yang diangkat Utsman dimanfaatkan oleh Abdullah bim Saba' seorang Yahudi untuk memberontak kepada khalifah. Ia pergi ke berbagai pelosok Arab dan menyebarluaskan isu negatif atas khalifah dan berhasil mengajak beberapa orang untuk pergi ke Madinah mendatangi khalifah, Setelah sampai di Madinah, para pemberontak mengajukan beberapa tuntutan kepada khalifah, namun tuntutan itu ditolak. Para pemberontak mengepung rumah khalifah, setelah berhasil masuk ke dalam rumah khalifah, pada saat Itulah mereka membunuh khalifah yang sedang membaca Al-Qur'an Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal Zulhijah tahun 35 Hijriyyah. Utsman bin Affan syahid pada umar 82 tahun. 4. Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M) a. Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah Ali bin Abi Thalib merupakan anak dari paman Nabi Muhammad saw., Abu Thalib. Ali juga merupakan salah satu orang yang pertama kali masuk Islam. Setelah wafatnya Utsman, kaum muslimin mengalami kesulitan untuk mengangkat khalifah pengganti Utsman. Tokoh-tokoh yang dianggap layak menjadi khalifah, seperti Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Umar, Sa'ad bin Abi Waqash, dan Zubair bin Awwam menolak menjadi khalifah. Dengan adanya keadaan ini, terjadilah diskusi yang diadakan oleh para tokoh kaum muslimin untuk menunjuk khalifah baru. Dari hasil diskusi yang dilaksanakan, mereka tidak menemukan orang yang lebih layak daripada Ali bin Abi Thalib. Ali juga dikenal sebagai pribadi yang cerdas, maka diangkatlah Ali sebagai khalifah. b. Prestasi-prestasi khalifah Ali bin Abi Thalib Masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib lebih berfokus pada masalah intern. Masalah intern tersebut dapat memunculkan perpecahan di kalangan umat Islam. Keadaan tersebut terjadi karena aqidah sebagian umat Islam sudah digerogoti oleh masalah keduniawian dan pengaruh orang-orang munafik yang tidak suka dengan kemajuan Islam. Di antara usaha-usaha yang dilakukan oleh khalifah Ali bin Abi Thalib adalah: 1) Mengganti Pejabat yang Kurang Cakap Pada masa pemerintahan khalifah Utsman bin Affan, beberapa pejabat yang diangkatnya tidak menaati nasihat khalifah Utsman bin Affan, yaitu untuk selalu berbuat adil dan memperlakukan rakyat dengan sebaik-baiknya. Sebagian pejabat tersebut bahkan ada yang tidak menyetorkan pajak pada negara. Maka sejak Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah, Ali mulai membersihkan pejabat-pejabat yang kurang cakap dengan memberhentikan dari jabatannya. 2) Memadamkan Pemberontakan pemberontakan di Kalangan Umat Islam Peristiwa pembunuhan khalifah Utsman bin Affan meninggalkan masalah di kalangan umat Islam saat itu. Kelompok-kelompok yang tidak puas dengan kinerja khalifah Ali bin Abi Thalib dalam menghukum orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan Utsman membuat kelompok tersendiri yang dipimpin oleh Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, dan Siti Aisyah Ummul Mukminin r.a. dengan dukungan dari Bani Umayyah di Syam mereka menyusun kekuatan. Khalifah Ali yang memandang gerakan tersebut sebagai pembangkangan terhadap kekhalifahan, segera mengambil tindakan. Sebenarnya Ali tidak menghendaki perang. Ali mengirimkan surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan masalah tersebut secara damai, namun ajakan tersebut ditolak. Akhirnya pertempuran pun terjadi. Perang tersebut dinamakan Perang Jamal. Perang Jamal terjadi tahun 36 H yang dimenangkan oleh khalifah Ali namun menewaskan sekitar 10.000 kaum muslimin, termasuk Zubair dan Thalhah. Sedangkan Siti Aisyah. berhasil ditawan kemudian, beliau dipulangkan ke Madinah dalam keadaan dihormati. Dinamakan perang Jamal, karena pada waktu itu Siti Aisyah menunggangi unta. Di sisi lain, Muawiyah yang menolak pemberhentian dirinya dari gubernur Syam berhasil menguatkan posisinya. Muawiyah berhasil menyusun kekuatan Setelah beberapa perundingan damai gagal dilakukan, akhirnya pada tahun 37 terjadilah perang selama 10 hari yang menewaskan sekitar 70.000 kaum muslimin. Perang tersebut dinamakan perang Shiffin. Perang tersebut diakhiri dengan peristiwa Tahkim yang melemahkan posisi khalifah Ali. 3) Menyempurnakan Tulisan Al-Qur'an Salah satu jasa khalifah Ali bin Abi Thalib adalah menyempurnakan tulisan Al-Qur'an dengan memberi tanda titik dan harakat (syakal/baris) oleh seorang ahli tata bahasa yang bernama Abul Aswad Ad-Dualy yang ditugaskan oleh beliau. Pekerjaan tersebut disempurnakan pada zaman khalifah Abdul Malik bin Marwan. Wafatnya Ali bin Abi Thalib (40 H/661 M) Khalifah Ali bin Abi Thalib wafat di usia 63 tahun, dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam, seseorang Khawarij. Khalifah Ali dibunuh saat mengimami shalat subuh di masjid Kufah. Ali menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 Hijriyyah @SaduddinAtazani.Blogspot.Com