Kamis, 22 Oktober 2020

Ekonomi Islam pada Masa Nabi Muhammad SAW Nabi Muhammad Saw berhijrah dari kota Makkah ke kota Yasrib. Di kota yang bertanah subur ini, Rasulullah Saw disambut dengan hangat serta diangkat sebagai pemimpin penduduk kota yasrib. Sejak saat itu, kota Yasrib berubah menjadi kota Madinah. Perkembangan yang terjadi di kota Madinah sangat pesat, berbeda halnya dengan periode Makkah, Islam menjadi kekuatan politik pada periode Madinah. Rasulullah Saw menjadi pemimpin kota kecil yang jumlahnya terus meningkat dari masa ke masa. Ajaran Islam yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat banyak yang turun di Madinah. Rasulullah selain sebagai kepala Negara juga sebagai pemimpin agama, telah banyak melakukan perubahan dalam menata kehidupan masyarakat Maadinah. Banyak hal yang dilakukan oleh Rasul terutama membangun dari sisi kehidupan sosial. Baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat bahkan membersihkan tradisi dan ritual yang bertentangan dengan ajaran Islam. Seluruh aspek kehidupan didasarkan dengan nilai-nilai Qur’ani. Madinah merupakan negara yang baru terbentuk dan mobilitas ekonomi sangat rendah. Sistem ekonomi yang diterapkan Rasulullah berakar dari prinsip-prinsip Qur’ani. Al-qur’an merupakan sumber utama ajaran Islam telah menetapkan berbagai aturan bagi umat manusia dalam melakukan aktivitas disetiap aspek kehidupan, termasuk dalam bidang ekonomi. Dalam pandangan Islam, kehidupan manusia tidak bisa dipisah-pisahkan menjadi kehidupan ruhiyah dan jasmaniyah, melainkan sebagai satu kesatuan yang utuh. Islam tidak mengenal kehidupan yang hanya berorientasi pada akhirat tanpa memikirkan kehidupan duniawi atau sebaliknya. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman dalam Al-qur’an: وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا… (القصص: 77) “Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi…” (Al-Qasas: 77) Kondisi masyarakat Madinah pada saat itu masih belum menentu dan tidak bisa diperbaiki dalam waktu yang singkat. Oleh karena itu, Rasulullah mencari solusi untuk memperbaiki keadaan tersebut untuk mengubah secara perlahan-lahan tanpa bergantung kepada faktor keuangan. Rasulullah melakukan strategi dan langkah-langkah yang ditempuh untuk mengantisipasi dan memperbaiki keadaan tersebut dengan beberapa cara. Setelah Madinah menjadi sebuah Negara, semua kegiatan tugas negara dilaksanakan kaum Muslimin secara gotong royong dan sukarela karena Madinah hampir tidak memiliki pemasukan dan pengeluaran negara. Pendapatan mereka peroleh dari berbagai sumber yang tidak terikat, bisa dari hadiah atau harta rampasan perang (ghanimah). Ghanimah inilah yang kemudian menjadi salah satu sumber pendapatan negara demikian juga dengan zakat fitrah dan zakat mal, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an tentang bagaimana tata cara pembagian harta rampasan perang: وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ… (الأنفال: 41) “Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, Kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil…” (Al-Anfal: 41) Pendapatan lain yang diperoleh pemerintah adalah berasal dari hasil tebusan para tawanan perang. Ketika terjadi perang Badar, kaum Muslimin berhasil mengalahkan kaum Kafir Makkah dan memperoleh banyak tawanan perang. Rasulullah Saw menetapkan uang tebusan sebesar 4000 dirham untuk setiap tawanan perang. Terhadap tawanan miskin dan tidak mampu membayar sebesar jumlah tersebut, Rasulullah meminta setiap dari seorang untuk mengajar membaca 10 orang anak Muslim. Pada tahun-tahun berikutnya, mulai dari tahun keempat Hijriyah kaum Muslimin berhasil mengumpulkan kekayaan pertama yang merupakan sumber pendapatan Negara. Pada tahun ini, pendapatan kaum Muslimin dihasilkan dari tanah-tanah, baju baja dan senjata perang Bani Nadhir yang ditinggalkan di kota Madinah, Bani Nadzir adalah suku bangsa Yahudi yang tinggal di pinggiran kota Madinah dan pada tahun ketujuh Hijriyah, kaum Muslimin berhasil menguasai Khaibar. Penduduk khibar meninggalkan tanahnya dan sebagian mereka tetap tinggal dengan kesepakatan mereka tetap mengolah tanahnya dan Rasulullah mengabulkan permintaan mereka dan memberikan mereka setengah bagian dari hasil penen kebun mereka. Pada masa pemerintahannya, Rasulullah menerapkan jizyah, yakni pajak yang dibebankan kepada orang-orang non-Muslim, khususnya ahli kitab, sebagai jaminan perlindungan jiwa, harta milik, kebebasan menjalankan ibadah serta pengecualian dari wajib militer. Besarnya jizyah adalah satu dinar per tahun untuk setiap laki-laki dewasa yang mampu membayarnya. Perempuan, anak-anak, pengemis dan penderita penyakit dibebaskan dari beban ini. Pembayaran jizyah ini tidak harus berupa uang tunai, tetapi juga dapat berupa berbagai barang lainnya. Selain jizyah, Rasulullah juga menerapkan sumber pendapatan negara yang terpenting dengan sistem Kharaj, yakni pajak tanah yang dipungut dari kaum non-Muslim. Tanah tersebut diambil alih oleh kaum Muslimin dan pemiliknya diberi hak untuk mengolah tanah tersebut dengan status penyewa dan bersedia memberikan sebagian hasil produksinya kepada negara. Disamping itu, umat Islam dan bukan hanya non-Muslim yang dikenakan pajak, umat Islampun dikenakan pajak yang sama dengan kharaj, yakni Ushr dari hasil pertanian dan buah-buahan. Sumber pendapatan Negara selain jizyah dan kharaj adalah sistem Ushr, sebuah jenis pajak yang telah berlangsung pada masa Arab Jahiliyah yang diadopsi oleh Rasulullah sebagai bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang dan dibayar hanya sekali dalam setahun serta berlaku hanya terhadap barang-barang yang bernilai lebih dari 200 dirham. Tingkat bea yang dikenakan kepada para pedagang non-Muslim yang dilindungi adalah sebesar 5% sedangkan pedagangg Muslim sebesar 2,5%. Diantara sumber-sumber pendapatan Negara pada masa pemerintahan Rasulullah Saw, zakat dan Ushr merupakan dua pendapatan yang paling utama dan penting. Selain sumber-sumber pendapatan tersebut, terdapat beberapa sumber lain yang bersifat tambahan atau skunder. Sumber pendapatan sekunder tersebut bisa didapatkan melalui uang tebusan para tawanan perang, pinjaman-pinjaman, khums atas rikaz atau harta karun, amwal fadilah yakni harta yang berasal dari harta benda kaum Muslimin yang meninggal tanpa ahli waris atau harta seorang Muslim yang murtad dan pergi meninggalkan Negaranya. Wakaf juga merupakan pendapatan skunder. Nawaib, yaitu pajak khusus yang dibebankan kepada kaum Muslimin yang kaya raya dalam rangka menutupi pengeluaran Negara selama masa darurat. Bentuk lain adalah zakat fitrah dan sedekah-sedekah seperti hewan qurban, kafarat dan hadiah-hadiah yang diberikan oleh pemimpin atau pemerintah Negara lain. Sa’duddin Attaftazani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar