Mengenal lebih
dekat Suku Betawi
Sumber berbagi : Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas/Jakarta.go.id
Suku Betawi adalah
sebuah suku bangsa di Indonesia yang penduduknya
umumnya bertempat tinggal di Jakarta.
Sejumlah
pihak berpendapat bahwa Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis
dan bangsa di masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang
Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang
didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Apa yang disebut dengan orang atau suku
Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir
dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta,
seperti orang Sunda, Melayu, Jawa, Arab, Bali, Bugis, Makassar, Ambon, dan Tionghoa.
Namun
pihak lain berpendapat bahwa Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin
antaretnis dan bangsa pada masa lalu ternyata tidak sepenuhnya benar karena
eksistensi suku Betawi menurut sejarawan Sagiman MD telah ada serta mendiami
Jakarta dan sekitarnya sejak zaman batu baru atau pada zaman Neoliticum,
penduduk asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa sebagaimana orang Sunda, Jawa,
dan Madura.[1] Pendapat Sagiman MD tersebut senada dengan
Uka Tjandarasasmita yang mengeluarkan monografinya "Jakarta Raya dan
Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran (1977)"
mengungkapkan bahwa Penduduk Asli Jakarta telah ada pada sekitar tahun 3500 -
3000 sebelum masehi.
Namun
menurut sebagian Peneliti yang sepaham dengan Lance Castles yang pernah
meneliti tentang Penduduk Jakarta dimana Jurnal Penelitiannya diterbitkan tahun
1967 oleh Cornell University dikatakan bahwa secara biologis, mereka yang
mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku
dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda keBatavia.
Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah
lebih dulu hidup di Jakarta,
seperti orang Sunda, Melayu, Jawa, Bali, Bugis, Makassar,dan Ambon, serta
suku-suku pendatang, seperti Arab, India, Tionghoa, danEropa.
Pada
penelitiannya Lance Castles menitik beratkan pada empat sketsa sejarah yaitu:
1.
Daghregister, yaitu
catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di dalam kota
benteng Batavia.
2.
Catatan Thomas Stanford
Raffles dalam History of Java pada tahun 1815.
3.
Catatan penduduk pada Encyclopaedia
van Nederlandsch Indie tahun 1893
4.
Sensus penduduk yang
dibuat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930.
Dimana
semua sketsa sejarahanya dimulai pada tahun 1673 (Pada Akhir Abad ke 17),
sketsa inilah yang oleh sebagian ahli lainnya dirasakan kurang lengkap untuk
menjelaskan asal mula Suku Betawi dikarenakan dalam Babad Tanah Jawa yang ada
pada abad ke 15 (tahun 1400-an Masehi) sudah ditemukan kata "Negeri
Betawi". Suku Betawi secara geografis terletak di pulau Jawa, namun secara
sosiokultural lebih dekat pada budaya Melayu Islam.[2]
Etimologi Betawi
Kata Betawi digunakan untuk menyatakan suku asli
yang menghuni Jakarta dan bahasa Melayu Kreol yang digunakannya, dan juga kebudayaan Melayunya.
Mengenai asal mula kata Betawi, menurut para ahli dan sejarahwan ada beberapa
acuannya:
·
Pitawi (bahasa
Melayu Polynesia
Purba) yang artinya larangan. Perkataan ini mengacu pada komplek bangunan yang
dihormati di Batu Jaya. Sejarahwan Ridwan Saidi mengaitkan bahwa Kompleks
Bangunan di Batu Jaya, Karawang merupakan sebuah Kota Suci yang tertutup,
sementara Karawang, merupakan Kota yang terbuka.
·
Betawi (Bahasa Melayu
Brunei) di mana kata "Betawi" digunakan untuk menyebut giwang. Nama
ini mengacu pada ekskavasi di Babelan, Kabupaten Bekasi, yang banyak ditemukan
giwang dari abad ke-11 M.
·
Flora guling Betawi
(cassia glauca), famili papilionaceae yang merupakan jenis tanaman perdu yang
kayunya bulat seperti guling dan mudah diraut serta kokoh. Dahulu kala jenis
batang pohon Betawi banyak digunakan untuk pembuatan gagang senjata keris atau
gagang pisau. Tanaman guling Betawi banyak tumbuh di Nusa Kelapa dan beberapa
daerah di pulau Jawa dan Kalimantan. Sementara di Kapuas Hulu, Kalimantan
Barat, guling Betawi disebut Kayu Bekawi. Ada perbedaan pengucapan kata
"Betawi" dan "Bekawi" pada penggunaan kosakata
"k" dan "t" antara Kapuas Hulu dan Betawi Melayu,
pergeseran huruf tersebut biasa terjadi dalam bahasa Melayu.
Kemungkinan
nama Betawi yang berasal dari jenis tanaman pepohonan ada kemungkinan benar.
Menurut Sejarahwan Ridwan Saidi Pasalnya, beberapa nama jenis flora selama ini
memang digunakan pada pemberian nama tempat atau daerah yang ada di Jakarta,
seperti Gambir, Krekot, Bintaro, Grogol dan banyak lagi. "Seperti
Kecamatan Makasar, nama ini tak ada hubungannya dengan orang Makassar,
melainkan diambil dari jenis rerumputan"[3]
Sehinga
Kata "Betawi" bukanlah berasal dari kata "Batavia"
(nama lama kota Jakarta pada masa Hindia
Belanda), dikarenakan nama Batavia lebih merujuk kepada wilayah asal
nenek moyang orang Belanda.
“
|
“Batavia is the Latin name for the
land of the Batavians during Roman times. This was roughly the area around
the city of Nijmegen, Netherlands, within the Roman Empire. The remainder of
this land is nowadays known as Betuwe. During the Renaissance, Dutch
historians tried to promote these Batavians to the status of
"forefathers" of the Dutch people. They started to call themselves
Batavians, later resulting in the Batavian Republic, and took the name
"Batavia" to their colonies such as the Dutch East Indies, where
they renamed the city of Jayakarta to become Batavia from 1619 until about
1942, when its name was changed to Djakarta (this is the short for the former
name Jayakarta, later respelt Jakarta; see: History of Jakarta). The name was
also used in Suriname, where they founded Batavia, Suriname, and in the
United States where they founded the city and the town of Batavia, New York.
This name spread further west in the United States to such places as Batavia,
Illinois, near Chicago, and Batavia, Ohio.”.
|
”
|
Batavia
merupakan nama Latin untuk tanah Batavia pada zaman Romawi. Perkiraan kasarnya
berada sekitar kota Nijmegen, Belanda, dalam Kekaisaran Romawi. Sisa lahan ini
kini dikenal sebagai Betuwe. Selama Renaisans, sejarawan Belanda mencoba untuk
mempromosikan Batavia menjadi sebuah status "nenek moyang" dari
orang-orang Belanda. Kemudian mereka mulai menyebut diri Orang-orang atau
penduduk Batavia, kemudian hal tersebut mengakibatkan munculnya Republik
Batavia, dan mengambil nama "Batavia" untuk koloni mereka seperti
Hindia Belanda, dimana mereka mengganti nama menjadi dari Kota Jayakarta
menjadi Batavia dari 1619 sampai sekitar 1942, ketika namanya diubah menjadi
Djakarta (ini adalah kependekan dari nama mantan Jayakarta, kemudian diubah kembali
ejaannya menjadi Jakarta). Nama itu (Batavia) juga digunakan di Suriname, di
mana mereka mendirikan Batavia, Suriname, dan
di Amerika Serikat di mana mereka mendirikan kota dan kota Batavia, New York.
Nama ini menyebar lebih jauh ke barat di Amerika Serikat untuk tempat-tempat
seperti Batavia, Illinois, dekat Chicago, dan Batavia, Ohio.
Kemudian
penggunaan kata Betawi sebagai sebuah suku yang pada masa hindia belanda,
diawali dengan pendirian sebuah organisasi yang bernama Pemoeda Kaoem Betawiyang lahir pada tahun 1923.
Sejarah
Berikut
merupakan pemaparan para ahli tentang sejarah betawi.
I.
Periode Sebelum Masehi
Sejarah
Betawi diawali pada masa zaman batu yang menurut Sejarawan Sagiman MD sudah ada
sejak zaman neolitikum. Sementara Yahya Andi Saputra (Alumni Fakultas Sejarah
UI), berpendapat bahwa penduduk asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa.
Menurutnya, dahulu kala penduduk di Nusa Jawa merupakan satu kesatuan budaya.
Bahasa, kesenian, dan adat kepercayaan mereka sama. Dia menyebutkan berbagai
sebab yang kemudian menjadikan mereka sebagai suku bangsa sendiri-sendiri.
·
Pertama, munculnya
kerajaan-kerajaan pada zaman sejarah.
·
Kedua, kedatangan dan
pengaruh penduduk dari luar Nusa Jawa.
·
Terakhir, perkembangan
kemajuan ekonomi daerah masing-masing.
Penduduk
asli Betawi berbahasa Kawi (Jawa kuno). Di antara penduduk juga mengenal huruf
hanacaraka (abjad bahasa Jawa dan Sunda). Jadi, penduduk asli Betawi telah
berdiam di Jakarta dan sekitarnya sejak zaman dahulu.
II.
Periode Setelah Masehi
Periode
Awal
Abad ke-2
Pada
abad ke-2, Menurtut Yahya Andi Saputra Jakarta dan sekitarnya termasuk wilayah
kekuasaan Salakanagara atau Holoan yang terletak di kaki Gunung Salak, Bogor.
Penduduk asli Betawi adalah rakyat kerajaan Salakanagara. Pada zaman itu
perdagangan dengan Cina telah maju. Bahkan, pada tahun 432 Salakanagara telah
mengirim utusan dagang ke Cina.
Abad ke-5
Pada
akhir abad ke-5 berdiri kerajaan Hindu Tarumanagara di tepi kali Citarum.
Menurut Yahya, ada yang menganggap Tarumanagara merupakan kelanjutan kerajaan
Salakanagara. Hanya saja ibukota kerajaan dipindahkan dari kaki gunung Salak ke
tepi kali Citarum. Penduduk asli Betawi menjadi rakyat kerajaan Tarumanagara.
Tepatnya letak ibukota kerajaan di tepi sungai Candrabagha, yang oleh
Poerbatjaraka diidentifikasi dengan sungai Bekasi. Candra berarti bulan atau
sasi, jadi ucapan lengkapnya Bhagasasi atau Bekasi, yang terletak di sebelah
timur pinggiran Jakarta. Di sinilah, menurut perkiraan Poerbatjaraka, letak istana
kerajaan Tarumanengara yang termashur itu. Raja Hindu ini ternyata seorang ahli
pengairan. Raja mendirikan bendungan di tepi kali Bekasi dan Kalimati. Maka
sejak saat itu rakyat Tarumanagara mengenal persawahan menetap. Pada zaman
Tarumagara kesenian mulai berkembang. Petani Betawi membuat orang -orangan
sawah untuk mengusir burung. Orang-orangan ini diberi baju dan bertopi, yang
hingga kini ma sih dapat kita saksikan di sawah-sawah menjelang panen. Petani
Betawi menyanyikan lagu sambil mengge rak-gerakkan tangan orang-orangan sawah
itu. Jika panen tiba petani bergembira. Sawah subur, karena diyakini Dewi Sri
menyayangi mereka. Dewi Sri, menurut mitologi Hindu, adalah dewi kemakmuran.
Pendu duk mengarak barongan yang dinamakan ondel-ondel untuk menyatakan merdeka
punya kagoembiraan. Ondel-ondel pun diarak dengan membunyikan gamelan. Nelayan
juga bergembira menyambut panen laut. Ikan segar merupakan rezeki yang mereka
dapatkan dari laut. Karenanya mereka mengadakan upacara nyadran. Ratusan perahu
nelayan melaut mengarak kepala kerbau yang dilarungkan ke laut.
Abad ke-7
Pada
abad ke-7 Kerajaan Tarumanagara ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya yang beragama Budha. Di zaman kekuasaan
Sriwijaya berdatangan penduduk Melayu dari Sumatera. Mereka mendirikan
pemukiman di pesisir Jakarta. Kemudian bahasa Melayu menggantikan kedudukan
bahasa Kawi sebagai bahasa pergaulan. Ini disebabkan terjadinya perkawinan
antara penduduk asli dengan pendatang Melayu. Bahasa Melayu mula-mula hanya
dipakai di daerah pesisir saja. Kemudian meluas sehingga ke daerah kaki Gunung
Salak dan Gunung Gede. Bagi masyarakat Betawi keluarga punya arti penting.
Kehidupan berkeluarga dipandang suci. Anggota keluarga wajib menjunjung tinggi
martabat keluarga. Dalam keluarga Betawi ayah disebut baba. Tetapi ada juga
yang menyebutnya babe, mba, abi atau abah — pengaruh para pendatang dari Hadra
maut. Ibu disebut mak. Tetapi tidak kurang banyaknya yang menyebut umi atau
enya' dari kata nyonya. Anak
pertama dinamakan anak bongsor dan anak bungsu dinamakan anak bontot.
Abad
ke-10
Pada
sekitar abad ke-10. Saat terjadi persaingan antara orang Melayu yaitu Kerajaan
Sriwijaya dengan wong Jawa yang tak lain adalah Kerajaan Kediri. Persaingan ini
kemudian menjadi perang dan membawa Cina ikut campur sebagai penengah karena
perniagaan mereka terganggu. Perdamaian tercapai, kendali lautan dibagi dua,
sebelah Barat mulai dari Cimanuk dikendalikan Sriwijaya, sebelah timur mulai
dari Kediri dikendalikan Kediri. Artinya pelabuhan Kalapa termasuk kendali
Sriwijaya.
Sriwijaya
kemudian meminta mitranya yaitu Syailendra di Jawa Tengah untuk membantu
mengawasi perairan teritorial Sriwijaya di Jawa bagian barat. Tetapi ternyata
Syailendara abai maka Sriwijaya mendatangkan migran suku Melayu Kalimantan
bagian barat ke Kalapa. Pada periode itulah terjadi persebaran bahasa Melayu di
Kerajaan Kalapa yang pada gilirannya – karena gelombang imigrasi itu lebih
besar ketimbang pemukin awal – bahasa Melayu yang mereka bawa mengalahkan
bahasa Sunda Kawi sebagai lingua franca di Kerajaan Kalapa. Sejarahwan Ridwan
Saidi mencontohkan, orang “pulo”, yaitu orang yang berdiam di Kepulauan Seribu,
menyebut musim di mana angin bertiup sangat kencang dan membahayakan nelayan
dengan “musim barat” (bahasa Melayu), bukan “musim kulon” (bahasa Sunda),
orang-orang di desa pinggiran Jakarta mengatakan “milir”, “ke hilir” dan “orang
hilir” (bahasa Melayu Kalimantan bagian barat) untuk mengatakan “ke kota” dan
“orang kota”.
III.
Periode Kolonialisasi Eropa
Abad
ke-16
Perjanjian
antara Surawisesa (raja Kerajaan Pajajaran) dengan bangsa Portugis pada tahun
1512 yang membolehkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa
mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis
yang menurunkan darah campuran Portugis. Dari komunitas ini lahir musik
Keroncong atau dikenal sebagai Keroncong Tugu.
Setelah VOC menjadikan Batavia sebagai pusat kegiatan
niaganya, Belanda memerlukan banyak tenaga kerja untuk membuka lahan pertanian
dan membangun roda perekonomian kota ini. Ketika itu VOC banyak membeli budak
dari penguasa Bali, karena saat itu di Bali masih berlangsung praktik
perbudakan.[6] Itulah penyebab masih tersisanya kosa kata
dan tata bahasa Bali dalam bahasa Betawi kini. Kemajuan perdagangan Batavia
menarik berbagai suku bangsa dari penjuru Nusantara hingga Tiongkok, Arab dan
India untuk bekerja di kota ini. Pengaruh suku bangsa pendatang asing tampak
jelas dalam busana pengantin Betawi yang banyak dipengaruhi unsur Arab dan
Tiongkok. Berbagai nama tempat di Jakarta juga menyisakan petunjuk sejarah
mengenai datangnya berbagai suku bangsa ke Batavia, Kampung
Melayu, Kampung Bali, Kampung Ambon, Kampung Jawa, Kampung Makassar
dan Kampung Bugis. Rumah Bugis di bagian utara Jl. Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun1690. Pada
awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota.
Abad
ke-20
Pada
April 1967 di majalah Indonesia terbitan Cornell University, Amerika, Lance
Castles mengumumkan penelitiannya menyangkut asal usul orang Betawi. Hasil
penelitian yang berjudul “The Ethnic Profile of Jakarta” menyebutkan bahwa
orang Betawi terbentuk pada sekitar pertengahan abad 19 sebagai hasil proses
peleburan dari berbagai kelompok etnis yang menjadi budak di Batavia.
Secara
singkat sketsa sejarah terjadinya orang Betawi menurut Castles dapat ditelusuri
dari:
1.
Daghregister, yaitu
catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di dalam kota
benteng Batavia.
2.
Catatan Thomas Stanford
Raffles dalam History of Java pada tahun 1815.
3.
Catatan penduduk pada
Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893
4.
Sensus penduduk yang
dibuat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930.
Oleh
karena klasifikasi penduduk dalam keempat catatan itu relatif sama, maka
ketiganya dapat diperbandingkan, untuk memberikan gambaran perubahan komposisi
etnis di Jakarta sejak awal abad 19 hingga awal abad 20. Sebagai hasil
rekonstruksi, angka-angka tersebut mungkin tidak mencerminkan situasi yang
sebenarnya, namun menurut Castles hanya itulah data sejarah yang tersedia yang
relatif meyakinkan walaupun hasil kajian yang dilakukan Lance Castles
mendapatkan banyak kritikan karena hanya menitikberatkan kepada skesta sejarah
yang baru ditulis tahun 1673.
Mengikuti
kajian Lance Castles antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, M.A. memperkirakan etnis Betawi baru terbentuk
sekitar seabad lalu, antara tahun1815-1893.
Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang
dirintis sejarawan Australia, Lance Castle. Di
zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat
berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta
tahun 1615 dan 1815,
terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan
mengenai golongan etnis Betawi. Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan
etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moor, orang Melayu, orang
Bali, Jawa, Sunda, orang Sulawesi
Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda.
Kemungkinan kesemua suku bangsa Nusantara dan Arab Moor ini dikategorikan ke
dalam kesatuan penduduk pribumi (bahasa
Belanda: inlander) di Batavia yang kemudian
terserap ke dalam kelompok etnis Betawi.
Sepuluh
tahun setelah pengumuman hasil penelitian Lance Castles yakni pada tahun 1977
arkeolog Uka Tjandarasasmita mengemukakan monografinya "Jakarta Raya dan
Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran (1977)". Uka
memang tidak menyebut monografinya untuk menangkis tesis Castles, tetapi secara
arkeologis telah memberikan bukti-bukti yang kuat dan ilmiah tentang sejarah
penghuni Jakarta dan sekitarnya dari masa sebelum Tarumanagara pada abad 5.
Dikemukakan
bahwa paling tidak sejak zaman neolitikhum atau batu baru (3500 – 3000 tahun
yang lalu) daerah Jakarta dan sekitarnya dimana terdapat aliran-aliran sungai
besar seperti Ciliwung, Cisadane, Kali Bekasi, Citarum pada tempat-tempat
tertentu sudah didiami oleh masyarakat manusia. Beberapa tempat yang diyakini
itu berpenghuni manusia itu antara lain Cengkareng, Sunter, Cilincing, Kebon
Sirih, Tanah Abang, Rawa Belong, Sukabumi, Kebon Nanas, Jatinegara, Cawang,
Cililitan, Kramat Jati, Condet, Pasar Minggu, Pondok Gede, Tanjung Barat,
Lenteng Agung, Kelapa Dua, Cipete, Pasar Jumat, Karang Tengah, Ciputat, Pondok
Cabe, Cipayung, dan Serpong. Jadi menyebar hampir di seluruh wilayah Jakarta.
Dari
alat-alat yang ditemukan di situs-situs itu, seperti kapak, beliung, pahat,
pacul yang sudah diumpam halus dan memakai gagang dari kayu, disimpulkan bahwa
masyarakat manusia itu sudah mengenal pertanian (mungkin semacam perladangan)
dan peternakan. Bahkan juga mungkin telah mengenal struktur organisasi
kemasyarakatan yang teratur.
Suku
Betawi
Pada
zaman kolonial Belanda tahun 1930,
kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai
kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak
778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.
Namun
menurut Uka Tjandarasasmita penduduk asli Jakarta telah ada sejak 3500-3000
tahun sebelum masehi.
Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi
Suparlan menyatakan,
kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga
belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri
berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau
orangRawabelong.
Pengakuan
terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan
sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia
Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni
Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Pemoeda Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula
segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan
orang Betawi.
Dr. Yasmine Zaki Shahab, M.A. berpendapat bahwa hingga beberapa waktu
yang lalu penduduk asli Jakarta mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Melayu atau menurut lokasi tempat tinggal mereka,
seperti orang Kwintang; orang Kemayoran; orang Tanahabang dan seterusnya.
Setelah tahun 1970-an yang merupakan titik balik kebangkitan kebetawian di
Jakarta telah terjadi pergeseran lebel dari Melayu ke Betawi. Orang yang dulu
menyebut kelompoknya sebagai Melayu telah menyebut dirinya sebagai orang
Betawi.
Ada
juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat
campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup
penduduk di luar benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi.
Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa
Melayu yang
umum digunakan di Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Malaka, Brunei dan Thailand
Selatan yang
kemudian dijadikan sebagai bahasa
Indonesia.
IV.
Setelah kemerdekaan
Sejak
akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia,
sehingga orang Betawi — dalam arti apapun juga — tinggal sebagai minoritas.
Pada tahun 1961,
'suku' Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk
Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan
ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Proses asimilasi dari
berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui
proses panjang itu pulalah salah satu caranya ’suku’ Betawi hadir di bumi
Nusantara.
Seni dan kebudayaan
Seni
dan Budaya asli Penduduk Jakarta atau Betawi dapat dilihat dari temuan
arkeologis, semisal giwang-giwang yang ditemukan dalam penggalian di Babelan,
Kabupaten Bekasi yang berasal dari abad ke 11 masehi. Selain itu budaya Betawi
juga terjadi dari proses campuran budaya antara suku asli dengan dari beragam
etnis pendatang atau yang biasa dikenal dengan istilah Mestizo . Sejak zaman dahulu, wilayah bekas
kerajaan Salakanagara atau kemudian dikenal dengan "Kalapa" (sekarang Jakarta)
merupakan wilayah yang menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara,
Percampuran budaya juga datang pada masa Kepemimpinan Raja Pajajaran, Prabu
Surawisesa dimana Prabu Surawisesa mengadakan perjanjian dengan Portugal dan
dari hasil percampuran budaya antara Penduduk asli dan Portugal inilah lahir
Keroncong Tugu.
Suku-suku
yang mendiami Jakarta sekarang antara lain, Jawa, Sunda, Melayu, Minang, Batak, dan Bugis.
Selain dari penduduk Nusantara, budaya Betawi juga banyak menyerap dari budaya
luar, seperti budaya
Arab, Tiongkok, India, dan Portugis.
Suku
Betawi sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk
pendatang. Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di
provinsi Jawa
Barat dan
provinsi Banten.
Budaya Betawi pun tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun
budaya barat. Untuk melestarikan budaya Betawi, didirikanlah cagar
budaya di Situ
Babakan.
Bahasa
Sifat
campur-aduk dalam bahasa Betawi atau Melayu Dialek Jakarta atau Melayu Batavia
adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil dari
asimilasi kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara
maupun kebudayaan asing.
Ada
juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar
"Kalapa" (sekarang Jakarta) juga
dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut sejarah,
Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura, pernah diserang dan
ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran
kalau penduduk asli Betawi yang pada awalnya berbahasa Kawi dan mendiami daerah
sekitar pelabuhan Sunda Kalapa (jauh sebelum Sumpah Pemuda) sudah menggunakanbahasa
Melayu, bahkan ada juga yang mengatakan suku lainnya semisal suku
Sunda yang mendiami wilayah inipun juga ikut menggunakan Bahasa Melayu yang
umum digunakan di Sumatera dan Kalimantan
Barat, penggunaan bahasa ini dikarenakan semakin banyaknya pendatang
dari wilayah Melayu lainnya semisal Kalimantan Barat dikarenakan dianggap
abainya Syailendra ketika dimintai tolong oleh Sriwijaya untuk menjaga wilayah
perairan laut sebelah barat Sungai Cimanuk sebagai hasil Perjanjian Damai
Sriwijaya - Kediri yang dimediasi oleh China yang kemudian dijadikan sebagai
bahasa nasional.
Karena
perbedaan bahasa yang digunakan antara suku Betawi dengan suku Sunda diwilayah
lainnya tersebut maka pada awal abad
ke-20, Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia
sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi. Walau
demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap
dipertahankan dalam bahasa
Sunda seperti
kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung
dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan
lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga
Manik[8] yang saat ini disimpan di perpustakaan
Bodleian, Oxford, Inggris.
Meskipun
bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa
Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah
Bahasa Indonesia dialek Betawi. Dialek
Betawi sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah dan dialek
Betawi pinggir. Dialek Betawi tengah umumnya berbunyi "é" sedangkan
dialek Betawi pinggir adalah "a". Dialek Betawi pusat atau tengah
seringkali dianggap sebagai dialek Betawi sejati, karena berasal dari tempat
bermulanya kota Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi di sekitar Jakarta
Kota, Sawah Besar, Tugu, Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga batas
paling selatan di Meester (Jatinegara). Dialek Betawi pinggiran mulai dari
Jatinegara ke Selatan, Condet, Jagakarsa, Depok, Rawa Belong, Ciputat hingga ke
pinggir selatan hingga Jawa Barat. Contoh penutur dialek Betawi tengah adalah
Benyamin S., Ida Royani dan Aminah Cendrakasih, karena mereka memang berasal
dari daerah Kemayoran dan Kramat Sentiong. Sedangkan contoh penutur dialek
Betawi pinggiran adalah Mandra dan Pak Tile. Contoh paling jelas adalah saat
mereka mengucapkan kenape/kenapa'' (mengapa). Dialek Betawi tengah jelas
menyebutkan "é", sedangkan Betawi pinggir bernada "a" keras
mati seperti "ain" mati dalam cara baca mengaji Al Quran.
Musik
Dalam
bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang
Kromong yang
berasal dari seni musik Tionghoa,
tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, orkes Samrah berasal dari Melayu, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab,
dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an.
Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang
Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong.
Betawi juga memiliki lagu tradisional seperti "Kicir-kicir".
Tari
Seni
tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang
ada di dalamnya. Contohnya tari Topeng Betawi, Yapong yang dipengaruhi tari JaipongSunda, Cokek, tari
silat dan lain-lain. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda
dan Tiongkok, seperti tari Yapong dengan kostum penari khas pemain Opera
Beijing. Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis.
Selain seni tari lama juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang
dinamis.
Drama
Drama
tradisional Betawi antara lain Lenong dan Tonil.
Pementasan lakon tradisional ini biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari
rakyat Betawi, dengan diselingi lagu,pantun,
lawak, dan lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran lenong dapat berinteraksi
langsung dengan penonton.
Cerita
rakyat
Cerita
rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal
seperti Si Pitung, juga
dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan
Tulen atau si
jampang yang mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun
kehidupannya yang dikenal "keras". Selain mengisahkan jawara atau
pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai
Dasima yang
menggambarkan kehidupan zaman kolonial. cerita lainnya ialah Mirah dari Marunda, Murtado
Macan Kemayoran, Juragan Boing dan yang lainnya.
Senjata
tradisional
Rumah
tradisional
Kepercayaan
Sebagian
besar Orang Betawi menganut agama Islam,
tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katolik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di
antara suku Betawi yang beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka
adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis. Hal
ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa, raja Pajajaran mengadakan
perjanjian dengan Portugis yang membolehkan Portugis membangun benteng dan
gudang di pelabuhan Sunda
Kalapa sehingga
terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang
masih ada dan menetap di daerah Kampung
Tugu, Jakarta
Utara.
Profesi
Di Jakarta, orang
Betawi sekarang sebagai hasil asimilasi antar suku bangsa, sebelum era
pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah (kampung)
mereka masing-masing. Semisal di kampung Kemanggisan dan sekitaran Rawabelong
banyak dijumpai para petani kembang (anggrek, kemboja jepang, dan lain-lain).
Dan secara umum banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik semisal K.H.
Djunaedi, K.H. Suit, dll. Profesi pedagang, pembatik juga banyak dilakoni oleh
kaum betawi. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga Kemanggisan.
Kampung
yang sekarang lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat para peternak sapi
perah. Kampung Kemandoran di mana tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek,
jagoan silat banyak di jumpai disana semisal Ji'ih teman seperjuangan Pitung
dari Rawabelong. Di kampung Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran
sejak zaman Belanda dulu, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak
diragukan. Guru, pengajar, ustadz, dan profesi pedagang eceran juga kerap
dilakoni.
Warga
Tebet aslinya adalah orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat itu
program Ganefo yang dicetuskan oleh Bung Karno menyebabkan warga Betawi eksodus
ke Tebet dan sekitarnya untuk "terpaksa" memuluskan pembuatan
kompleks olahraga Gelora Bung Karno yang kita kenal sekarang ini. Karena salah satu
asal-muasal berkembangnya suku Betawi adalah dari asimilasi (orang Nusantara,
Tionghoa, India, Arab, Belanda, Portugis, dan lain-lain), profesi masing-masing
kaum disesuaikan pada cara pandang etnis dan bauran etnis dasar masing-masing.
Perilaku dan sifat
Asumsi
kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam
segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi
yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin
Sueb, dan Fauzi Bowo Gubernur DKI Jakarta (2007 - 2012) .
Ada
beberapa hal yang positif dari Betawi antara lain jiwa sosial mereka sangat
tinggi, walaupun kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan
cenderung tendensius. Orang Betawi juga sangat menjaga nilai-nilai agama yang
tercermin dari ajaran orangtua (terutama yang beragama Islam), kepada
anak-anaknya. Masyarakat Betawi sangat menghargai pluralisme. Hal ini terlihat
dengan hubungan yang baik antara masyarakat Betawi dan pendatang dari luar
Jakarta.
Orang
Betawi sangat menghormati budaya yang mereka warisi. Terbukti dari perilaku
kebanyakan warga yang mesih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan
dari masa ke masa seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain.
Memang
tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat Betawi masa
kini agak terpinggirkan oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri (baca:
Jakarta). Namun tetap ada optimisme dari masyarakat Betawi generasi mendatang
yang justru akan menopang modernisasi tersebut.
Makanan Khas Betawi
Masakan
Masakan
khas Betawi antara lain gabus pucung, laksa betawi. sayur babanci, sayur godog, soto
betawi, ayam sampyok, asinan betawi, dan nasi uduk.
Kue-kue
Kue-kue
khas Betawi misalnya kue cucur, kue rangi, kue talam, kue kelen, kue kembang goyang, kerak
telor, sengkulun, putu mayang, andepite, kue ape, kue cente manis, kue pepe, kue dongkal, kue geplak, dodol
betawi, dan roti
buaya.
Emang ga ada habisnya ngomongin betawi. Pernah diskusi mengenai budaya betawi swaktu di bangku kuliah...hehe...
BalasHapus