Selasa, 07 Agustus 2018

MAD FARQI Pengertian Mad Farqi (مَدْ فَرْقِ) Menurut Bahasa : Mad artinya panjang, sedangkan farqi artinya adalah memisahkan Menurut Istilah : Apabila ada mad badal bertemu tasydid di lain kalimat. Dikatakan mad farqi (yang berarti memisahkan) karena memisahkan antara istifham dan mubtada’, jika tidak ada mad di sana, maka tentu saja akan dipahami bahwa mad itu (hamzah) kedudukannya adalah mubtada’ bukan istifham. Jadi, fungsi mad di sini adalah menunjukkan bahwa hamzah tersebut adalah hamzam istifham. Catatan : • Istifham dalam ilmu nahwu adalah huruf yang berfungsi sebagai pertanyaan (yang berarti apakah). • Mubtada’ dalam ilmu nahwu adalah isim yang disepikan dari amil-amil lafdzi. Contoh Bacaan Hukum bacaan mad farqi hanya bisa ditemui dalam 4 tempat di dalam Al-Qur’an yaitu : Surat Al-An'am ayat 143 : ثَمَانِيَةَ أَزْوَاجٍ ۖ مِنَ الضَّأْنِ اثْنَيْنِ وَمِنَ الْمَعْزِ اثْنَيْنِ ۗ قُلْ آلذَّكَرَيْنِ حَرَّمَ أَمِ الْأُنْثَيَيْنِ أَمَّا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ أَرْحَامُ الْأُنْثَيَيْنِ ۖ نَبِّئُونِي بِعِلْمٍ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ Surat Al-An'am ayat 144 : وَمِنَ الْإِبِلِ اثْنَيْنِ وَمِنَ الْبَقَرِ اثْنَيْنِ ۗ قُلْ آلذَّكَرَيْنِ حَرَّمَ أَمِ الْأُنْثَيَيْنِ أَمَّا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ أَرْحَامُ الْأُنْثَيَيْنِ ۖ أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ وَصَّاكُمُ اللهُ بِهَٰذَا ۚ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللهِ كَذِبًا لِيُضِلَّ النَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ إِنَّ اللهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِيْنَ Surat Yunus ayat 59 : قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا قُلْ آللهُ أَذِنَ لَكُمْ ۖ أَمْ عَلَى اللهِ تَفْتَرُونَ Surat An-Naml ayat 59 : قُلِ الْحَمْدُ لِلّٰهِ وَسَلَامٌ عَلٰى عِبَادِهِ الَّذِيْنَ اصْطَفٰى ۗ آللهُ خَيْرٌ أَمَّا يُشْرِكُوْنَ Jika sudah dilihat contoh-contoh di atas, maka kalimat asli yang menunjukkan pertemuan mad badal dan tasydid di lain kalimat adalah sebagai berikut : اَاَللهُ - اَاَلذَّكَرَيْنِ Cara Membaca Hukum bacaan mad farqi dibaca panjang 3 alif atau 6 harakat. MAD BADAL Hukum Bacaan Mad Badal Mad badal adalah apabila ada huruf mad dan hamzah terkumpul dalam satu kalimat, sedangkan hamzah mendahului huruf mad itu Pengertian Mad Badal (مَدْ بَدَلْ)Menurut Bahasa Mad berarti panjang, badal berarti pengganti. Pengertian Mad Badal (مَدْ بَدَلْ) Menurut Istilah اَنْ يَجْتَمِعَ الْمَدُّ مَعَ الْهَمْزَةِ فِيْ كَلِمَةٍ لٰكِنِ تَتَقَدَّمُ الْهَمْزَةُ عَلٰى الْمَدِّ Apabila ada huruf mad (alif, ya’, dan wawu) dan hamzah terkumpul dalam satu kalimat, sedangkan hamzah mendahului huruf mad itu. Contoh : Contoh Lafadz Cara Membaca Lafadz Asli اٰمَنَ aamana أَأْمَنَ اِيْمَانٌ iimanun أِأْمَانٌ مِنَ الْاُوْلٰى minal uulaa مِنَ الْأُأْلٰى Cara Membaca : Hukum bacaan mad badal dibaca panjang 2 alif atau 4 harakat. Catatan : Dari pengertian dan contoh di atas, maka kita bisa mengetahui bahwa hukum mad badal merupakan pengganti dari hamzah yang dihilangkan. Mengapa dihilangkan ? karena aturan penulisan berbahasa arab memang demikian yaitu agar mempermudah pengucapan lisan. Kita bisa membedakan secara jelas jika mempelajari tentang kaidah i’lal dalam ilmu alat dan penulisan berbahasa arab. Dan biasanya, Al-Qur’an dalam Mushaf Usmani (Al-Qur’an cetakan timur tengah) jelas membedakan akalimat-kalimat mad badal. MAD TAMKIN Pengertian Mad Tamkin adalah mad yang huruf ya ( ي ) bertasydid atau berharkat berkasroh ( يِّ ). Cara membaca Mad Tamkin adalah dengan panjang 2 harakat. Dilihat dari segi bahasa Mad Tamkin adalah cara untuk memanjangkan bacaan Mad pada Wawu dan Ya ketika bertemu dengan huruf hijaiyah yang sama baik itu dari segi sifat dan juga dari segi mahrajnya. Satu berharokat sukun dan yang lainnya berharokat Kesimpulannya, Mad tamkin ialah mad yang terdiri dari 2 huruf “ya” yang bertemu dalam satu kalimat, sedangkan yang pertama berbaris kasrah dan bertasydid , dan yang kedua mati(sukun). Contoh : عِتِيِّيْنَ , عِلِيِّيْنَ ,حُيِّيْتُمْ ,نَبِيِّيْنَ Ketentuan dalam Mad Tamkin - Apabila ada huruf hijaiyah yang berharakat Kasrah bertemu dengan huruf hijaiyah Ya Sukun ( يْ ), dan huruf hijaiyah sesudahnya adalah Ya yang Berharakat fathah, kasroh, dhammah ( يَ , يِ , يُ ) Apabila ada huruf hijaiyah yang berharakat Dhammah bertemu dengan huruf Waw sukun ( وْ ), dan sesudahnya yaitu Wawu Berharakat fathah dhammah maupun kasroh ( وَ, وِ, وُ ) Cara Membaca Mad Tamkin Cara membaca Mad Tamkin ialah dengan menetapkan bunyi tasydid pada huruf ya’ yang pertama. Kemudian bacaan dipanjangkan saat menghadapai huruf maddnya, yaitu huruf ya’ yang kedua bertanda sukun. Panjang bacaannya adalah dua harokat atau satu alif. Namun, apabila setelah ya’ ada satu huruf yang di waqofkan pada huruf tersebut , maka membacanya boleh dua, empat atau enam harokat, hal ini lantaran karena hukum bacaan pada akhir kata menjadi madd aridl lis sukun. Contoh Mad Tamkin dalam Al Quran Surat ali-imron ayat 21 وَٱلۡأُمِّيِّـۧنَ Surat ali-imron ayat 20 رَبَّـٰنِيِّـۧنَ Surat Ali 'Imran 3: Ayat 79 مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتٰبَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِّى مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلٰكِنْ كُونُوا رَبّٰنِيِّۦنَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتٰبَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
Khutbah : Menjaga hati الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ، وَبِفَضْلِهِ تَتَنَزَّلُ الْخَيْرَاتُ وَالْبَرَكَاتُ، وَبِتَوْفِيْقِهِ تَتَحَقَّقُ الْمَقَاصِدُ وَالْغَايَاتُ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّااللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لَانَبِيَّ بَعْدَهُ. اللهم صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ المُجَاهِدِيْنَ الطَّاهِرِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ، فَيَا آيُّهَا الحَاضِرُوْنَ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوااللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ، وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى Saudara-saudara kaum muslimin sidang jum’at Masjid Nurussyibyan MTs Negeri 8 Jakata rahimahumullah. Sebagai khotib, dari atas mimbar ini saya berwasiat kepada diri pribadi dan Anda semua untuk bertakwa kepada Allah SWT. Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa. Bertakwalah kepada Allah dalam mengurus diri dan orang-orang yang menjadi tanggung jawab kita. Bertakwalah kepada Allah SWT, maka Allah akan memberikan perlindungan, kecukupan dan petunjuk kepada kita semua. Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, Nabi ﷺ mengingatkan: أَلاَ وَإِنَّ فِيْ الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ “Ingatlah bahwa di dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik maka baik pula seluruh tubuh. Jika ia rusak maka rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung).” (HR Bukhari dan Muslim) Hadits ini bisa dimaknai dalam dua sudut pandang. Pertama, secara jasmani. Secara lahiriah, Nabi Muhammad ﷺ berpesan tentang betapa vitalnya fungsi jantung (bahasa Arab: qalb) dalam tubuh manusia. Jantung memiliki fungsi utama memompa darah ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah. Jantung bertugas pula menyalurkan nutrisi ke seluruh tubuh dan membuang sisa metabolisme tubuh. Jantung yang normal adalah pangkal jasmani yang sehat. Sebaliknya, ketika jantung mengalami gangguan, maka terganggu pula kesehatan tubuh secara keseluruhan. Kedua, secara rohani. Istilah qalb dimaknai sebagai apa yang sering kita sebut dengan “hati”. Hati memang tak kasat mata tapi pengaruhnya kepada setiap gerak-gerik manusia amat menentukan. Ia tempat berpangkalnya niat. Tulus atau tidak, jujur atau pura-pura, lebih sering hanya diketahui oleh Allah dan pemilik hati itu sendiri. Dalam Islam, hati merupakan sesuatu yang paling pokok. Ibarat jantung, rusaknya hati berarti rusaknya tiap perilaku manusia secara keseluruhan. Maksud dari hadits Rasulullah tentu lebih pada pemaknaan yang kedua ini. Jamaah shalat Jumat Rohimakumullah Untuk menjaga agar hati tetap “sehat”, perlu kiranya kita menjawab sebuah pertanyaan: apa yang menyebabkan hati rusak? Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Munabbihât ‘ala Isti‘dâdi li Yaumil Mî‘âd memaparkan penjelasan Imam Hasan al-Bashri bahwa setidaknya ada enam hal yang membuat hati manusia menjadi rusak. Pertama, berbuat dosa dengan berharap kelak ia bisa bertobat. Ia sadar bahwa apa yang dilakukan adalah kedurhakaan, tapi berangan-angan ia bisa menghapus kesalahan-kesalahan saat ini di kemudian hari. Ini merupakan sebuah kesombongan karena terlalu percaya diri bahwa Allah akan memberinya umur panjang dan kesempatan bertobat lalu melimpahinya rahmat. Juga masuk kategori sikap meremehkan kewajiban karena perbuatan dosa dilakukan bukan karena kebodohan melainkan kesengajaan. Sangat berharap tobat bakal datang, bisa jadi justru hati semakin gelap, dosa-dosa kian menumpuk, kesadaran untuk kembali kepada Allah makin tumpul dan umur pun tidak sampai. Na’udzubillahi min zalik. Kedua, berilmu tapi tidak mau mengamalkannya. Pepatan bijak mengatakan, al-‘ilmu bilâ ‘amalin kasy syajari bilâ tsamarin (ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah). Pengamalan dalam kehidupan sehari-hari dari setiap pengetahuan tentang hal-hal baik adalah tujuan dari ilmu. Hal ini juga menjadi penanda akan keberkahan ilmu. Pengertian “tidak mengamalkan ilmu” setidaknya ada dua pemahaman : pertama, mendiamkannya hanya sebagai koleksi pengetahuan dalam kepala, dan kedua, si pemilik ilmu bertingkah laku bertentangan dengan ilmu yang dimilikinya. Kondisi ini bisa menyebabkan rusaknya hati. Ketiga, ketika seseorang beramal, ia tidak ikhlas. Setelah ilmu diamalkan, urusan belum sepenuhnya beres. Sebab, manusia masih dihinggapi hawa nafsu dari mana-mana. Ia mungkin saja berbuat baik banyak sekali, namun sia-sia belaka karena tidak ada ketulusan berbuat baik. Ikhlas adalah hal yang cukup berat sebab meniscayakan kerelaan hati meskipun ada yang dikorbankan. Jamaah shalat Jumat yang berbahagia Keempat, menikmati rezeki Allah namun tidak bersyukur. Karunia dan syukur merupakan pasangan yang tak bisa dipisahkan. Jika tidak ada kehidupan manusia di dunia ini yang luput dari karunia Allah, maka bersyukur adalah pilihan sikap yang wajib. Orang yang tak mau bersyukur adalah orang yang tidak memahami hakikat rezeki. Jenis anugerah Allah mungkin ia batasi hanya kepada ukuran-ukuran yang bersifat material belaka, misalnya jumlah uang, rumah, jenis makanan, dan lain-lain. Padahal, rezeki telah diterima setiap saat, berupa nikmat bendawi maupun nonbendawi. Mulai dari napas, waktu luang, akal sehat, hingga berbagai kecukupan kebutuhan lainnya seperti makan, tempat tinggal, dan pakaian. Hanya mereka yang sanggup merenungkannya yang akan jauh dari kufur nikmat. Syekh Nawawi al-Bantani dalam Nashaihul ‘Ibad mengartikan syukur dengan ijrâ’ul a‘dlâ’ fî mardlâtillâh ta‘âlâ wa ijrâ’ul amwâl fîhâ (menggunakan anggota badan dan harta benda untuk sesuatu yang mendatangkan ridha Allah). Artinya, selain ucapan “alhamdulillah”, kita dianggap bersyukur bila tingkah laku kita, termasuk dalam penggunaan kekayaan kita, bukan untuk jalan maksiat kepada Allah ﷻ. Perusak hati yang kelima adalah tidak ridho dengan karunia Allah. Pada level ini, orang bukan hanya tidak mau mengucapkan rasa syukur, tapi juga kerap mengeluh, merasa kurang, bahkan dalam bentuknya yang ekstrem melakukan protes kepada Allah. Allah memberikan kadar rezeki pada hambanya sesuai dengan proporsional. Tidak ada hubungan langsung bahwa yang kaya adalah mereka yang paling disayang Allah, sementara yang miskin adalah mereka yang sedang dibenci Allah. Bisa jadi justru apa yang kita sebut “kurang” sebenarnya adalah kondisi yang paling pas agar kita selamat dari tindakan melampaui batas. Betapa banyak orang berlimpah harta namun malah lalai dengan tanggung jawab kehambaannya: boros, sombong, berfoya-foya, kikir, tenggelam dalam kesibukan duniawi dan lupa akhirat, dan lain sebagainya. وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَٰكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ ۚ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ “Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat." (QS Asy-Syura: 27) Keenam, mengubur orang mati namun tidak mengambil pelajaran darinya. Peristiwa kematian adalah nasihat yang lebih gamblang daripada pidato-pidato dalam panggung ceramah. Ketika ada orang meninggal, kita disajikan fakta yang jelas bahwa kehidupan dunia ini fana. sementara. Liang kubur adalah momen perpisahan kita dengan seluruh kekayaan, jabatan, status sosial, dan popularitas yang pernah dimiliki. Selanjutnya, orang mati akan berhadapan dengan semua pertanggungjawaban atas apa yang ia perbuat selama hidup di dunia. Rasulullah ﷺ bersabda: إِنَّ اْلقَبْرَ أَوَّلُ مَنَازِلِ الآخِرَةِ فَإِنْ نَجَا مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَيْسَر مِنْهُ وَإِنْ لَمْ يَنْجَ مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَشَدُّ مِنْهُ “Sungguh liang kubur merupakan awal perjalanan akhirat. Jika seseorang selamat dari (siksaan)-nya maka perjalanan selanjutnya akan lebih mudah. Namun jika ia tidak selamat dari (siksaan)-nya maka (siksaan) selanjutnya akan lebih kejam.” (HR Tirmidzi) بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم Khutbah II اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
Khutbah : Mensyukuri Kemerdekaan اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، اَلَّذِى خَلَقَ اْلإِنْسَانَ خَلِيْفَةً فِي اْلأَرْضِ وَالَّذِى جَعَلَ كُلَّ شَيْئٍ إِعْتِبَارًا لِّلْمُتَّقِيْنَ وَجَعَلَ فِى قُلُوْبِ الْمُسْلِمِيْنَ بَهْجَةً وَّسُرُوْرًا. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِى وَيُمِيْتُ وَهُوَعَلَى كُلِّ شَيْئ ٍقَدِيْرٌ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًاعَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَنَبِيَّ بَعْدَهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمـَّدٍ سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَأَفْضلِ اْلأَنْبِيَاءِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَاِبه أَجْمَعِيْنَ أَمَّا بَعْدُ، فَيَاأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْااللهَ حَقَّ تُقَاتِه وَلاَتَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنـْتُمْ مُسْلِمُوْنَ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا . وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى Saudara-saudara kaum muslimin sidang jum’at Masjid Nurussyibyan MTs Negeri 8 Jakata rahimakumullah. Sebagai khotib, dari mimbar ini saya berwasiat kepada diri pribadi dan Anda semua untuk bertakwa kepada Allah SWT. Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa. Bertakwalah kepada Allah dalam mengurus diri dan orang-orang yang menjadi tanggung jawab kita. Bertakwalah kepada Allah SWT, maka Allah akan memberikan perlindungan, kecukupan dan petunjuk kepada kita semua. Jamaah shalat Jum’at yang semoga dirahmati Allah, Kaum Muslimin patut bangga memiliki ajaran yang begitu memuliakan manusia. Islam lahir dari latar sejarah bangsa Arab jahiliyyah yang melanggar moralitas perikemanusiaan: fanatisme kesukuan yang parah, pelecehan terhadap perempuan, perang saudara, perampasan hak milik orang lain, perjudian, dan lain sebagainya. Dalam ajarannya pun, komitmen tersebut juga sangat jelas. Allah berfirman, wa laqad karramnâ banî âdam (sungguh Kami telah muliakan anak keturunan Adam). Islam juga menjamin kehidupan yang berkeadilan, aman secara jasmani dan ruhani, serta merdeka dari belenggu penindasan. Dalam tradisi ushul fiqih, kita mengenal prinsip-prinsip yang haram dilanggar, yakni hak hidup (hifdhun nafs), terjaganya kehidupan agama (hifdhud din), jaminan mendayagunakan akal (hifdhul 'aql), jaminan kepemilikan harta (hifdhul mâl), dan terjaganya kesucian keluarga (hifdhun nasl). Beberapa hal pokok inilah yang lazim disebut maqâshidus syarî‘ah . Umat Islam, juga seluruh umat manusia lainnya, masing-masing memiliki hak untuk hidup yang wajar. Sebagai implementasi dari nilai-nilai utama tadi, mereka seyogianya mendapat keleluasaan dalam mencari ilmu, beribadah, mengekspresikan pikiran, berkarya, dan sejenisnya. Jaminan tersebut wajib ada selama dilaksanakan dalam kerangka kemasyarakatan yang bertanggung jawab. Apabila kebebasan tersebut dirampas secara zalim maka sangatlah wajar sebuah perlawanan dan pembelaan kemudian mengemuka. أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ. الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ Artinya: “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (Yang teraniaya itu adalah) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata "Tuhan kami hanyalah Allah". Jika kita perhatikan secara seksama, Surat Al-Hajj ayat 39-40 ini menegaskan bahwa tiap orang memiliki hak atas kampung halaman, rumah, tempat tinggal, tanah air yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut diyârihim (berasal dari kata dâr, rumah). Sebab itu, tatkala mereka diusir atau dirampas hak-haknya, Allah memberi kewenangan mereka untuk membela diri. Mengapa demikian? Karena kampung halaman atau tanah air adalah tempat berpijak untuk melaksanakan kehidupan secara wajar dan aman sebagai manusia yang dimuliakan di buka bumi. Tanah air adalah tempat untuk mencari nafkah, makan, berkeluarga, menunaikan kewajiban agama, bermasyarakat, mengembangkan pendidikan, dan seterusnya. Jamaah shalat Jum’at rahimakumullâh, Begitu pula yang diteladankan Rasulullah. Nabi Muhammad SAW bersama para sahabat berjuang keras melindungi hak-hak mereka. Mereka berperang bukan semata hanya untuk menyerang. Mereka berperang karena sedang diserang dan melawan kezaliman kaum Musyrik Quraisy yang merenggut kebebasan kaum Muslim dalam bertauhid dan hidup tanpa gangguan siapa pun. Artinya, umat Islam berperang justru karena tak menginginkan perang itu terjadi sama sekali di muka bumi. Semangat serupa juga dikobarkan para ulama-ulama kita era pra-kemerdekaan Indonesia. Selama proses penjajahan Jepang dan Belanda, penduduk pribumi tak aman dan tak nyaman di tanah air sendiri. Mereka tersingkir dari kehidupan yang layak: susah belajar, susah makan, susah bekerja, dan susah beribadah. Berbagai kekejaman dan kezaliman inilah yang mendorong para ulama bersama umat Muslim, dan para pahlawan lain untuk mengusir kaum kolonial. Kalau kita pernah mendengar “Resolusi Jihad yang difatwakan Hadrotussyaikh KH Hasyim As’ary tokoh pendiri NU” maka itu adalah salah satu cerminan nyata dari semangat tersebut. Resolusi Jihad adalah deklarasi perang kemerdekaan sebagai “jihad suci” yang digelorakan para kiai di Indonesia pada 22 Oktober 1945 guna menghadang pasukan Inggris yang disusupi tentara NICA Belanda yang hendak menjajah Indonesia kembali. Berkat perjuangan yang gigih, gelora keislaman yang tinggi, serta riyadlah dan doa para ulama, serangan tentara Inggris dan tentara NICA dapat digagalkan dan bangsa Indonesia tetap merdeka hingga kini sejak Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Sebagian ulama tersebut bahkan tak hanya memimpin perlawanan, tapi juga aktif bergerilya, menyusun strategi, bahkan perang fisik secara langsung dengan pasukan musuh. Umat Islam sadar bahwa membela tanah air dari penindasan adalah bagian dari perjuangan Islam, yang nilai maslahatnya akan dirasakan oleh jutaan orang. Terlebih saat Resolusi Jihad dikumandangkan, Indonesia adalah negara yang baru dua bulan berdiri. Para ulama dan cendekia Muslim sadar betul, bahwa sebagai makhluk sosial kehadiran negara merupakan sebuah keniscayaan, baik secara syar’i maupun ‘aqli, karena banyak ajaran syariat yang tak mungkin dilaksanakan tanpa kehadiran negara. Oleh karena itu, Al-Imam Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihyâ’ ‘Ulûmud Dîn mengatakan: المُلْكُ وَالدِّيْنُ تَوْأَمَانِ فَالدِّيْنُ أَصْلٌ وَالسُّلْطَانُ حَارِسٌ وَمَا لَا أَصْلَ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَمَا لَا حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ “Kekuasaan (negara) dan agama merupakan dua saudara kembar. Agama adalah landasan, sedangkan kekuasaan adalah pemelihara. Sesuatu tanpa landasan akan roboh. Sedangkan sesuatu tanpa pemelihara akan lenyap.” Jamaah shalat Jum’at rahimakumullâh, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang kini kita diami adalah hasil kesepakatan bangsa (mu’ahadah wathaniyyah), dengan Pancasila sebagai dasar negara. Ia dibangun atas janji bersama, termasuk di dalamnya mayoritas umat Islam. Bahkan, sebagian perumus Pancasila adalah para tokoh dan ulama Muslim. Karena itu, sebagai penganut agama yang sangat menghormati janji, seluruh umat Islam wajib mentaati dasar tersebut, apalagi tak nilai-nilai di dalamnya selaras dengan substansi ajaran Islam. Rasulullah SAW bersabda: المُسْلِمُوْنَ عَلىَ شُرُوْطِهِمْ Artinya: “Kaum Muslimin itu berdasar pada syarat-syarat (kesepakatan) mereka.” (HR Al-Baihaqi dari Abi Hurairah) Indonesia memang bukan Negara Islam, akan tetapi sah menurut pandangan Islam. Demikian pula Pancasila sebagai dasar negara, walaupun bukan selevel syari’at/agama, namun ia tidak bertentangan, bahkan selaras dengan prinsip-prinsip Islam. Sebagai konsekuensi sahnya NKRI, maka segenap elemen bangsa wajib mempertahankan dan membela kedaulatannya. Pemerintah dan rakyat memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Kewajiban utama pemerintah ialah mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya secara berkeadilan dan berketuhanan. Sedangkan kewajiban rakyat ialah taat kepada pemimpin sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Jamaah shalat Jum’at rahimakumullâh, Kita patut bersyukur bahwa negara kita, Indonesia, cukup aman dibanding sebagian negara di belahan lain dunia. Umat Islam di sini dapat menjalankan ibadah dan menuntut ilmu agama dengan tenang kendatipun berbeda-beda madzhab dan kelompok. Kita juga relatif bebas dari kekangan di Tanah Air dalam menjalankan hidup sehari-hari. Udara kemerdekaan ini adalah karunia besar dari Allah SWT.Jangan sampai kita baru merasakan kenikmatan luar biasa ini setelah rudal-rudal berjatuhan di sekeliling kita, tank-tank perang berseliweran, tempat ibadah hancur karena bom, atau konflik berdarah antara-saudara sesama bangsa. Na’ûdzubillâhi min dzâlik. Mari kita syukuri kemerdekaan ini dengan hamdalah, sujud syukur, dan mengisinya dengan kegiatan-kegiatan positif. Bagi para siswa isilah kemerdekaan ini dengan belajar yang tekun agar kalian dapat meraih cita-cita dengan mudah dan kelak dapat menjadi para pengganti pemimpin-pemimpin di masa mendatang yang dapat membawa negeri kita Baldatun thoyyibatun warabbun ghaffur. Kita mungkin tak lagi sedang berperang secara fisik sebagaimana ulama-ulama dan pahlawan kita terdahulu, tapi kita masih punya cukup banyak masalah kemiskinan, kebodohan, korupsi, kekerasan, narkoba, dan lain-lain yang juga wajib kita perangi. بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم Khutbah II اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهّ أَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍوَعُمَروَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ