REFLEKSI HARI GURU NASIONAL TAHUN 2016
(Sumber berbagi : Ustz. Imam Bukhori, Pengurus PP Lembaga Pendidikan Maarif
NU dari NU Online)
Guru pahlawan tanpa tanda jasa. Adagium inilah yang terngiang setiap kali
memperingati hari guru nasional. Tentu ini bukan sekadar, namun penuh makna.
Mengapa begitu hebatnya kedudukan guru. Guru yang bagaimana yang layak sebagai
pahlawan tanpa tanda jasa. Apakah kita layak disebut demikian? Pertanyaan
inilah yang berusaha dibahas dalam tulisan ini.
Guru digugu lan ditiru. Demikianlah akronim bahasa jawa.
Artinya guru adalah sosok yang segala ucapannya dapat dipercaya. Ditiru murid,
teman sejawat dan ditiru masyarakat pada umumnya. Dulu, sekali lagi
dulu-permasalahan apa saja yang terjadi di masyarakat selalu merujuk kepada apa
kata guru. Karena memang ucapan guru dapat dipercaya, diyakini kebenarannya
bahkan dianggap bertuah. Bisa kualat kalau tidak nurut guru. Sedemikian
ampuhnya guru zaman dulu.
Ucapan guru dipercaya (Jawa: digugu) karena hampir apa yang
diucapkan adalah apa yang diperbuatkan. Perkataannya cocok dengan perbuatannya.
Sehingga prilaku guru memperkuat keyakinan orang untuk percaya apa yang
dikatakan. Tindak tanduk dan prilaku guru efektif bisa ditiru. Bisa dicontoh
dan selalu menjadi inspirasi bagi orng lain. Guru hebat adalah yang menjadi
inspirasi.
Orang lain -apa lagi murid tidak perlu lagi mendengar banyak nasehat untuk
bisa menjadi murid yang baik. Ia cukup melihat dan bergaul dalam kesehariannya
dengan guru. Maka prilaku guru dengan segera dan kuat sekali terinternalisasi
dalam diri murid. Ahlak guru menular begitu effektif melalui laku, bukan ucapan
dan nasehat. Lisanul haal afshahu min lisanil Maqal. Nasihat berupa
prilaku jauh lebih terkesan dari pada nasehat berupa ucapan.
Guru semacam inilah yang oleh Imam Ahmad bin Kholil disebutnya sebagai
orang alim. Beliau menyatakan ada 4 jenis orang. Pertama, orang
yang mengerti dan sadar bahwa dirinya mengerti. Ciri khasnya adalah apa
yang dikatakan adalah apa yang diperbuatkan. Dialah orang alim. Kepada orang
jenis ini kita disuruh mengikutinya. Kedua, orang yang
mengerti, namun tidak sadar bahwa dirinya mengerti. Ibarat orang tertidur atau
lupa. Ciri khasnya adalah pengetahuannya tidak sama dengan perbuatannya.
Sikap kita, ingatkanlah orang ini maka dia akan mengambil peringatan.
Nasihat akan bermanfaat baginya. Ketiga, orang tidak mengerti
namun sadar bahwa dirinya tidak mengerti. Ciri hasnya dia bisa merasa bodoh dan
mau belajar untuk itu. Dia adalah seorang pembelajar. Ajarkanlah dia maka dia akan
bisa menerima ajaran, mau berubah. Keempat, orang yag tidak
mengerti dan tidak sadar bahwa dirinya tidak mengerti. Cirinya dia bodoh namun
tidak mengakui.
Dia sok pinter. Tidak mau belajar ataupun bertanya, gengsi
untuk dikatakan bodoh. Dia inilah orang bodoh sesungguhnya. Kata Imam Ahmad bin
Kholil , kepadanya jangan berteman, hindarilah. Seorang guru idealnya adalah
nomor satu. Yaitu orang yang alim. Guru seperti ini akan banyak memberikan
manfaat kepada murid. Baik di dunia maupun di akhirat.
Penulis sengaja menyebut murid untuk peserta didik. Penulis sadar bahwa
dengan menyebut peserta didik mengesankan bahwa anak pembelajar itu aktif,
tidak pasif. Dia memiliki potensi, yang tugas guru adalah membantu dan
memfasilitasi agar anak dengan potensinya tersebut berkembang secara
optimal. Baik domain afektif, kognitif maupun psikomotorik. Sertidaknya inilah
yag sejalan dengan paradigma pendidikan kita yaitu pembelajaran
konstruktivisme.
Namun penulis juga sadar bahwa dengan menyebut murid terkandung makna
lebih, yang tidak dimiliki sebutan lain seperti peserta didik, siswa dan anak
didik. Sebutan murid mengesankan adanya orientasi masa depan yang sangat jauh
dan utama yaitu kehidupan akhirat. Yakni anak pembelajar adalah anak yang
sedang berproses untuk menuju Allah, mendekat kepada Allah demi kebahagiaan
tidak sekedar dunia. Tapi lebih penting dari itu adalah kebahagiaan akhirat.
Bukankah kata Nabi Muhammad; orang cerdik pandai adalah yang mampu
mengendalikan nafsunya dan beramal demi kepentingan setelah mati? Maa ba’dal
maut.
Pemahaman seperti ini membawa konsekwensi bahwa hubungan guru-murid
bukanlah hubungan transaksioal. Ada bayaran maka ada jasa layanan pendidikan,
bukan. Namun hubungan saling menolong dan membantu, sama-sama menuju
keridlaan Allah (ta’awun ‘alal birr wattaqwa). Ia berdimensi tidak
sekedar dunia tapi akhirat. Guru untuk bisa mulia di sisi Allah memerlukan
murid agar bisa mengajar dan memanfaatkan ilmunya.
Dengan demikian ilmunya berkah. Sebaliknya murid memerlukan guru untuk
menghilangkan kebodohan, menambah ilmu pengetahuan, bekal menjalani kehidupan
yang lebih baik. Pola hubungan guru murid seperti inilah yang berdampak baik,
menyentuh, terkesan, membentuk karakter murid dan bernilai ibadah. Guru yang
membangun pola hubungan seperti inilah yang barang kali dimaksudkan oleh Nabi
Muhammad SAW sebagai orang besar di kalangan langit. Yaitu orang yang belajar
dan mengajarkan ilmunya kepada orang lain.
Guru pahlawan tanpa tanda jasa tentu bukan guru yang segala aktivitasnya diukur
dengan seberapa besar penghargaan yan diterima. Penghargaan bisa berupa gaji,
tunjangan ataupun promosi dan pujian orang lain. Ciri khas kepahlawanan adalah
kesediaan untuk berjuang dan berkorban. Berjuang tanpa mau berkorban adalah
perilaku makelar. Berkorban tanpa nilai perjuangan adalah kepicikan.
Jika guru sudah tidak bersedia lagi mengorbangkan kesenangan sesaatnya
untuk memperjuangkan idealisme sebagai guru yang profesional menurut hemat
penulis jauh dari sebutan guru pahlawan tanpa tanda jasa. Guru pahlawan layak
namanya terkenang di hati murid. Namanya selalu hidup dalam sanubari murid.
Kapanpun di manapun. Ketika murid-murid sudah sukses menjadi orang kelak nama
pertama yang diingat adalah nama gurunya, bukan orang tua, atau temannya.
Layakkah kita disebut guru pahlawan? Dikenangkah nama kita ketika
murid-murid kita kelak telah menjadi orang? Ataukah jangan-jangan nama kita
akan selalu terusir dari hati murid-murid kelak. Tentu harapan kita sebagai
guru adalah sebagaimana bait hymne guru ...namamu akan selalu hidup
dalam sanubariku... Hal ini hanya akan terjadi jika guru menampilkan sosok
guru yang digugu dan ditiru bukan sosok yang diguyu-guyu
lan ditinggal turu (sosok yang diketawakan dan ditinggal tidur). Wallahu
A’lam.
Shared by Sa’duddin Attaftazani from NU Online